“Persaingan dalam China – ASEAN Free Trade Agreement dalam bidang pertanian bukan persaingan Indonesia dengan China, tapi persaingan antarnegara ASEAN, khususnya berbagai provinsi di Indonesia dengan negara ASEAN lainnya untuk merebut pasar China,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA.
Mengapa kita justru bersaing dengan negara ASEAN lainnya untuk memasok pasar China?
Pertama, selisih perdagangan agribisnis kita masih surplus dengan China. Kedua, produk pertanian kita dan China bersifat komplementer. Pertanian China itu pertanian subtropis sehingga komoditas yang dihasilkan China tidak mampu kita produksi. Demikian juga sebaliknya. Dan ketiga, masalah waktu dan musim. Di China ada musim dingin yang membuat mereka sama sekali tidak bisa berproduksi. Itu kesempatan bagi Indonesia untuk memasok kebutuhan mereka. Berbeda halnya dengan produk industri yang kurang kompetitif, bahkan dalam banyak hal kedodoran dibandingkan produk China.
Jadi dalam China – ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA) kita justru bersaing dengan negara ASEAN lainnya untuk masuk ke pasar China yang sangat besar. Contohnya, kelapa sawit, kakao, dan rempah-rempah kita bersaing dengan Malaysia, karet dengan Thailand dan Malaysia, kopi dengan Vietnam, serta kelapa dengan Filipina. Semua ini merupakan produk ekspor agribisnis terbesar Indonesia. Selain itu, meskipun ekspornya belum besar adalah produk buah-buahan yang harus bersaing dengan Thailand, Filipina, dan Malaysia.
Mengapa sektor pertanian kita bisa paling siap menghadapi CAFTA?
Sektor pertanian, baik pemerintah maupun swasta, sangat aktif sejak negosiasi awal CAFTA. Sehingga sektor pertanian sudah mampu menerapkan kebijakan proteksi dan promosi yang memadai untuk memanfaatkan pasar China dan mencegah kompetisi impor dari China. Kita sudah memproteksi dengan baik produk-produk strategis kita, seperti beras, gula, jagung, dan kedelai dalam bentuk tarif yang tinggi dengan pengurangan secara bertahap.
Pada 2001 ekspor kelapa sawit, karet, kopi, kakao, dan buah-buahan kita ke China masih relatif kecil. Dengan adanya rencana pelaksanaan free trade volume ekspor kita terus membesar. Dan sektor pertanian kita tidak terkejut menghadapi 1 Januari 2010, awal pelaksanaan CAFTA karena strategi, kebijakan, dan program sudah didesain dan dilaksanakan secara sadar sejak 2001 pada masa Kabinet Gotong Royong yang dipimpin Presiden Megawati Soekarno Putri. Sekalipun banyak kritik mengenai pembangunan pertanian kita ternyata pertanianlah yang paling siap bersaing masuk ke pasar China.
Dan mengapa yang bersaing itu provinsi di Indonesia?
Wilayah Indonesia itu tidak homogen. Lain provinsi, lain pula produk agribisnis unggulannya. Sumatera bagian timur dan Kalimantan mengunggulkan kelapa sawit dan karet. Sumatera bagian selatan mengandalkan kopi. Lampung dan Jawa Timur, keunggulannya jagung. Jawa Timur dan NTB keunggulannya tembakau, Jawa Barat dan Jawa Tengah keunggulannya teh, serta Jawa, Sulawesi, dan Maluku keunggulannya cengkeh.
Selain itu, Sulawesi keunggulannya kakao dan kelapa, NTB dan NTT keunggulannya mete, Maluku keunggulannya minyak asiri, kelapa, dan perikanan laut, Sulawesi dan Maluku keunggulannya pala, dan Papua keunggulannya perikanan laut. Lalu Bali, NTB, dan NTT memiliki potensi yang besar dalam ternak sapi. Dan Jawa secara keseluruhan unggul dalam hal industri makanan olahan, vaksin dan obat hewan, serta buah-buahan.
Bermodal peta keunggulan masing-masing daerah itu, maka persaingan Indonesia adalah persaingan antara provinsi-provinsi kita dengan negara-negara ASEAN. Jadi arah persaingan jangan hanya ditujukan pada China, melainkan justru pada negara-negara ASEAN sebagai produsen produk pertanian yang sama dengan Indonesia.
Apa yang harus dilakukan untuk memenangkan persaingan dengan negara-negara ASEAN?
Melihat bahwa persaingan ini ada di daerah, baik itu provinsi atau kabupaten, dengan negara-negara ASEAN, maka peran pemerintah daerah menjadi sangat signifikan. Sehingga jangan salah dalam penyusunan unit perumusan kebijakan. Dengan cara begini kita akan mampu mengoptimalkan persaingan dengan negara-negara ASEAN untuk merebut pasar China.
Sebagian besar produk yang kita ekspor adalah bahan baku dan bahan dengan pengolahan terbatas. Untuk memperbesar volume, margin, dan memenangkan persaingan, kita harus pergi ke industri hilir yang lebih jauh. Artinya, kita juga mengekspor produk pertanian yang telah diolah dan tentu saja nilai tambahnya menjadi lebih besar.
Dan untuk merebut pasar China kita harus lebih ofensif. Maksudnya, jangan menunggu pengusaha China yang datang ke sini, tetapi kita yang menawarkan ke sana bahkan berinvestasi di China. Seperti yang telah dilakukan beberapa perusahaan kelapa sawit dan peternakan kita.
Untung Jaya