“Kenaikan harga beras yang cukup tinggi belakangan ini membuat saya meragukan klaim pemerintah tentang kenaikan produksi di atas 5% per tahun selama 2008 – 2009. Sebab kenaikan 2% saja menyebabkan harga gabah dan beras di tingkat petani menurun drastis,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA.
Bagaimana analisis Profesor tentang kenaikan harga beras saat ini?
Kita agak terkejut belakangan ini membaca berita pada beberapa surat kabar yang memuat tentang kenaikan harga beras yang cukup tinggi dalam waktu singkat. Karena dua tahun berturut-turut pemerintah mengklaim produksi padi nasional kita meningkat di atas 5% per tahun, sedangkan penduduk kita bertambah hanya sekitar 1,25% per tahun. Dengan peningkatan produksi seperti disebutkan tadi, seharusnya harga padi dan beras dalam negeri akan turun secara drastis.
Pengalaman pada 2000—2004 khususnya 2003 dan 2004, kenaikan produksi beras di atas 2% saja menyebabkan harga padi dan beras di tingkat petani menurun secara drastis, tapi pada 2008—2009 kenyataannya bertolak belakang. Peningkatan produksi yang spektakuler menurut statistika tidak menurunkan harga padi dan beras, bahkan pada permulaan pemerintahan yang baru ini harga sudah mulai melonjak.
Tambahan pula pada 2009 lalu, sebelum berlangsungnya pemilu kita diramaikan dengan informasi akan mengekspor beras dalam jumlah sangat besar. Saya tidak tahu apakah ekspor itu pernah terjadi tapi keadaan harga beras dalam negeri sekarang tidak merefleksikan semangat mengekspor tadi. Menjadi pertanyaan kenapa harga naik cukup besar dalam beberapa bulan setelah pemerintahan baru?
Menurut teori ekonomi, harga suatu barang ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan. Kenaikan harga suatu barang hanya mungkin terjadi, menurut teori ekonomi, apabila pertumbuhan permintaan lebih besar daripada pertumbuhan penawaran. Dari sisi permintaan akan beras tampaknya tidak banyak yang berubah karena penduduk hanya bertambah seperti tahun-tahun sebelumnya. Pendapatan juga tidak bertambah secara signifikan, dan tidak ada ekspor beras pada 2009 sehingga bukan faktor-faktor ini penyebabnya.
Atau kenaikan harga beras disebabkan kenaikan harga pembelian pemerintah (HPP)? Ini juga bukan menjadi penjelasan karena HPP bukan harga pasar. Dalam kenyataannya, harga pasar lebih tinggi daripada HPP. Jika HPP menjadi penyebab kenaikan harga, maka HPP harus lebih tinggi daripada harga pasar.
Jadi apa faktor penyebab kenaikan harga beras?
Dari penjelasan tadi dapat disimpulkan, kenaikan harga beras belakangan ini bukan secara signifikan disebabkan oleh pertumbuhan permintaan atau kenaikan HPP. Dengan demikian penjelasan yang logis adalah dari sisi penawaran. Salah satu penjelasan, pertumbuhan produksi yang dikatakan tinggi pada 2008—2009 barangkali statistikanya meragukan. Jadi Badan Pusat Statistika (BPS) perlu memeriksa kembali mengenai angka kenaikan produksi padi pada 2008—2009.
Penjelasan yang lain mengenai kenaikan harga juga dapat karena spekulasi para pedagang beras. Namun penjelasan ini tidak masuk akal. Jika produksi berlimpah, para pedagang tidak akan mau berspekulasi karena al itu dapat merugikan mereka. Lagi pula sebenarnya pihak yang memiliki stok beras besar untuk bisa berspekulasi di negeri kita saat ini adalah Perum Bulog. Bulog adalah satu-satunya yang memiliki stok beras dan terbesar. Tidak mungkin Bulog mau melakukan spekulasi. Jadi, satu-satunya penjelasan yang masuk akal kenapa harga beras naik pada awal pemerintahan yang baru ini adalah karena statistika peningkatan produksi padi dan beras pada akhir pemerintahan yang lalu diragukan.
Bagaimana solusi untuk mengatasi kenaikan harga beras?
Supaya harga beras turun, maka suplai dalam negeri harus ditambah. Karena itu stok Perum Bulog harus dikeluarkan, tidak perlu menunggu sampai harga naik 25%. Dan kebijakan pemerintah yang menurunkan limit kenaikan harga untuk mulai melakukan operasi pasar dari 25% menjadi 15% sudah membantu. Namun akan lebih baik jika limitnya 5% atau lebih rendah. Hal ini juga memberi kesempatan pada Perum Bulog untuk memperbaharui stok karena pada Februari, Maret, dan April yang akan datang panen raya.
Jika setelah dilakukan operasi pasar dan harga masih naik terus, sementara stok beras pada Perum Bulog telah menipis, maka opsi impor harus dilakukan. Hal ini untuk melindungi para konsumen yang sudah menderita karena kenaikan harga yang tinggi, sebab harga beras rata-rata pada 2004 hanya Rp2.500 per kg, dan sekarang sudah menjadi Rp5.500—Rp7.000 per kg, bahkan di beberapa daerah sudah mencapai Rp8.000 per kg.
Selain itu, kenaikan harga beras pada pemulaan pemerintahan baru ini seharusnya memberi pelajaran yang berarti buat kita, yaitu bagaimana kita menangani peningkatan produksi dalam negeri dan menangani kebijakan perberasan nasional. Sebab APBN yang lebih besar dan subsidi yang fenomenal terhadap peningkatan produksi padi rupanya belum menjadi jaminan bagi stabilitas harga beras dalam negeri. Perlu evaluasi ulang kebijakan perberasan nasional kita untuk mencegah kejadian kenaikan harga seperti belakangan ini.
Untung Jaya