“Jadikan perdagangan bebas ASEAN-China sebagai latihan menghadapi perdagangan bebas global. Kita harus memenangkan persaingan produk unggulan kita dan bersedia mengimpor produk bukan unggulan,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA.
Mengapa demikian?
Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN–China (ASEAN-China Free Trade Agreement atau ACFTA) yang mulai berlaku 1 Januari 2010 harus dijadikan latihan permulaan bagi kita menuju perdagangan bebas secara global. Pada ACFTA kita hanya bersaing secara regional yang tingkat pembangunannya relatif sama. Jika ternyata kita tidak mampu bersaing secara regional, maka tidak ada harapan bagi kita untuk bersaing secara global dengan negara-negara yang sudah jauh lebih maju daripada kita. Bila bersaing dengan China dan negara-negara ASEAN saja kita tidak mampu, di mana lagi kepercayaan diri bangsa ini?
Kita sudah cukup lama memproteksi pertanian kita. Saya ingat sewaktu saya menjadi Menteri Pertanian menerapkan kebijakan proteksi sekaligus promosi. Kita tidak biarkan produk pertanian Indonesia berhadapan dengan produk pertanian negara lain dalam perdagangan internasional secara tidak adil sehingga diterapkanlah kebijakan proteksi. Tapi bila hanya proteksi, maka proteksi ini akan terus membesar. Oleh sebab itu sekaligus diterapkan kebijakan promosi sebagai upaya meningkatkan daya saing produk pertanian kita. Dengan pemikiran, pada suatu saat bila daya saing sudah meningkat, proteksi bisa dipreteli sedikit demi sedikit. Sampai saat ini kita sudah melakukan proteksi sekitar 10 tahun, barangkali sudah masanya dipreteli dan ACFTA ini merupakan ajang latihan yang bagus buat produk pertanian kita.
Dapat dikatakan dalam menghadapi ACFTA ini kita masih beruntung karena masih berada dalam situasi global excess demand dengan demikian harga produk-produk masih tinggi sehingga tidak terlalu sulit dalam persaingan. Namun harus disadari, suatu ketika akan terjadi global excess supply yang pada saat itu harga-harga akan turun dan produsen yang tidak efisien akan bangkrut. Dan dalam keadaan seperti itu hendaknya kita rela menyerahkan kepada negara lain yang mampu menghasilkan produk dengan biaya lebih murah.
Siapa yang paling berperan dalam memenangkan persaingan tersebut?
Perdagangan bebas ini membuat semua petani, pengusaha, pemerintah pusat sampai daerah harus bekerja keras, bekerjasama, dan bekerja cerdas. Sebenarnya dalam perdagangan bebas yang bersaing bukan hanya produknya tetapi yang paling utama adalah orang dan organisasinya. Petani, pengusaha, pemerintah, dan scientist kita bersaing dengan petani, pengusaha, pemerintah, dan scientist negara lain. Jika produk pertanian kita kalah bersaing, maka yang kalah itu sebenarnya adalah petani, pengusaha, pemerintah, dan atau scientist kita baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama.
Menurut pengalaman saya, para petani kita adalah petani yang tangguh, pekerja keras, sekaligus pemikir cerdas. Justru yang lemah adalah pengusaha, birokrasi, dan scientist kita. Misalnya, petani Indonesia dibandingkan petani Thailand. Petani kita bisa menang bersaing tapi pengusaha, pemerintah, dan scientist kita kalah dengan pengusaha, pemerintah, dan scientist Thailand. Hal ini yang membuat para petani kita tidak bisa berbuat apa-apa karena pihak-pihak yang lain itu tidak mampu mendukung mereka untuk bersaing.
Bagaimana mengantisipasi perdagangan bebas ASEAN-China tersebut?
Perdagangan bebas ASEAN-China ini membuat kita harus berpikir ulang mengenai kebijakan dan organisasi pembangunan pertanian kita. Ujung tombak pertanian itu adalah petani dan pengusaha agribisnis, petani dan pengusaha agribisnis itu harus mendapat dukungan yang kuat dari pemerintah dan scientist. Namun pemerintah kita merupakan pihak yang paling lemah dalam rangka pembangunan pertanian terutama terjadi pada level kabupaten dan kota. Karena itu, dalam rangka perdagangan bebas ini pemerintah daerah harus lebih dimampukan untuk melayani petani dan pengusaha agar mampu bersaing dengan petani dan pengusaha negara lain.
Struktur Deptan dan programnya belum banyak berubah dibandingkan keadaan sebelum adanya otonomi daerah. Jika hal ini tidak cepat-cepat dilakukan, maka birokrasi akan selalu menjadi penghambat untuk meningkatkan daya saing produk-produk pertanian. Dengan demikian wajar negeri kita akan dibanjiri produk-produk impor lebih banyak lagi yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Sudah masanya Indonesia pada tingkat nasional dan daerah menetapkan komoditas-komoditas yang menjadi unggulan didasarkan pada keunggulan komparatif dan kompetitif. Dan terhadap produk-produk unggulan Indonesia tersebut, kita harus lebih agresif untuk meningkatkan produktivitas, produksi, dan mempromosikan dalam perdagangan internasional karena agresivitas merupakan proteksi dari persaingan internasional. Seperti dalam olahraga, bentuk defensif atau proteksi yang paling kuat adalah ofensif atau promosi.
Untung Jaya