“Banyak pihak yang mengatur pergulaan nasional. Selain departemen pertanian, juga departemen perdagangan, departemen perindustrian, dewan gula, dan organiasi terkait. Oleh karena itu, kebijakan yang dihasilkan sering berbenturan,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000—2004, saat diwawancara AGRINA.
Semestinya bagaimana?
Seharusnya yang banyak berperan itu adalah Dewan Gula Nasional karena dewan gula itu benar-benar tempat bertemu semua pihak terkait untuk mengambil keputusan. Sebenarnya, waktu saya masih Mentan, sejak tahun 2000 sudah diproyeksikan pada 2008 bisa swasembada gula. Program itu sudah dikoordinasikan dengan baik antarinstansi, dan semua pihak patuh pada keputusan dewan gula. Namun, sekarang justru banyak pihak terlibat dan masing-masing mempunyai justifikasi sendiri sehingga sulit untuk mengambil keputusan dan selalu terlambat. Misalnya, perlu atau tidak melakukan impor gula saat ini?
Kebijakan baru diambil setelah ada kesulitan. Contohnya, keputusan mengimpor 500 ribu ton gula untuk menutupi kebutuhan Januari—April 2010. Walaupun diskusinya sudah lama, tapi hingga kini kebijakan itu belum bisa diimplementasikan karena terlalu banyak kepentingan yang didominasi cara pandang jangka pendek.
Tampaknya industri dalam negeri tidak menunjukkan prestasi sehingga wajar harus impor 500 ribu ton?
Ya. Karena sampai sekarang tidak ada peningkatan produksi dan produktivitas. Dan saya takut, program revitalisasi industri gula nasional tidak jalan. Walaupun ada peningkatan, tapi tidak sepadan dengan yang diharapkan. Oleh sebab itu, kita tidak bisa mengorbankan konsumen terlalu lama.
Yang jelas, bila impor dilaksanakan, berarti pemerintah mengakui sudah gagal swasembada gula. Tapi lebih baik mengakui kegagalan daripada mengorbankan consumer, baik konsumen umum maupun industri nasional, sehingga kebijakan pergulaan nasional harus dirumuskan kembali.
Siapa yang paling bertanggung jawab terhadap kegagalan itu?
Ya, dewan gula. Sebab dia yang mempunyai rencana swasembada pada 2008. Kala itu, produksi gula nasional diproyeksikan meningkat dan harganya sama dengan harga internasional sehingga tidak perlu impor. Buktinya, kurun 2002—2008 produksi dan produktivitas gula dalam negeri tidak meningkat. Sungguh keterlaluan bila dalam enam tahun produksi dan produktivitas tidak bisa ditingkatkan.
Selain penataan kembali kebijakan, solusi apalagi untuk memperbaiki pergulaan nasional?
Dalam jangka pendek, jika memang produksi dalam negeri tidak mencukupi, maka impor harus diizinkan. Tapi kebijakan itu harus dibuat sedemikian rupa dengan struktur tarif yang tetap menguntungkan industri gula nasional. Karena industri gula nasional harus diproteksi juga.
Program jangka menengah—panjang, harus ada upaya pembukaan lahan baru serta usaha yang serius untuk meningkatkan produksi dan produktivitas industri gula nasional, khususnya industri di bawah PTPN. Sebab yang paling tidak efisien itu ’kan PTPN, baik yang ada di Jawa, Sumatera, maupun Sulawesi. Sudah terlalu lama industri gula milik PTPN yang bermitra dengan petani tidak memanfaatkan kebijakan pemerintah.
Dalam jangka pendek, impor tidak mudah. Sebab eksportir seperti Thailand belum surplus, demikian juga Brasil dilanda banjir. Solusinya?
Jangan-jangan belum ada realisasi impor itu lantaran harga internasional sudah lebih tinggi dibandingkan harga dalam negeri. Bila benar, itu kesempatan baik untuk memberikan insentif baru bagi industri nasional untuk meningkatkan produksi dan produktivitas.
Dalam bentuk apa saja insentif itu?
Harga yang baik. Perlu diingat, lima tahun lalu petani dan pabrik gula kita lalai. Mereka terlalu enak dengan proteksi. Mereka pikir proteksi itu bisa selamanya. Padahal hanya sementara, supaya terdorong untuk memperbaiki produksi dan produktivitas.
Untuk revitalisasi pabrik gula, berarti butuh investasi baru?
Mungkin perlu. Tapi yang paling penting adalah cara kerja baru. Kemudian, perlu ada reorganisai sehingga menciptakan hubungan baru antara pabrik gula dengan para petani. Reorganisasi diharapkan konsisten menopang satu sama lain. Bukan yang bertabrakan satu sama lain.
Apakah tidak cukup dengan jumlah organisasi yang ada sekarang?
Buktinya itu tidak efektif. Inilah yang harus dievaluasi agar bisa menjalankan revitalisasi.
Apakah pabrik gula yang rata-rata sudah tua itu masih bisa direvitalisasi?
Yang menjadi masalah pabrik gula, khususnya milik PTPN dan RNI, adalah manajemen yang rasional dari pabrik sampai ke on farm. Ditambah petani yang tidak well organized dengan unit-unit yang sangat kecil. Oleh karena itu sangat sulit untuk mendapatkan produk yang seragam maupun mengintroduksi teknologi maju.
Sesungguhnya produksi dan produktivitas pabrik gula itu masih bisa ditingkatkan. Misalnya dinaikkan dari 6 ton rata-rata hasil gula nasional, menjadi 10 ton per hektar. Angka itu bukan angan-angan. Sebab, Sugar Group di Lampung bisa membuktikan, sehingga ia menjadi pabrik gula paling efisien di dunia. Jadi, penekanannya pada produktivitas, baik produktivitas tebu maupun peningkatan rendemen.
Ke depan, dengan adanya pencanangan program food estate, apakah persoalan pergulaan dapat teratasi?
Harusnya bisa. Tapi, food estate, apapun namanya, harus dibuat dalam rational management dari pabrik sampai on farm. Salah satu caranya seperti yang dilakukan oleh Sugar Group itu. Atau bisa juga dalam bentuk koperasi. Jadi, walaupun pemiliknya keluarga petani tapi on farm-nya dalam bentuk koperasi.
Dadang WI