“Ketangguhan ketahanan pangan nasional tidak semata-mata diukur dari ketersediaan pangan atau swasembada beras. Tetapi bagaimana setiap masyarakat Indonesia dapat terpenuhi kebutuhannya akan pangan baik dalam jumlah maupun mutu,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA.
Apa yang dimaksud dengan ketahanan pangan?
Ketahanan pangan merupakan suatu konsep yang pengertiannya mengalami revisi sesuai dengan konteks permasalahan pangan. Definisi ketahanan pangan yang secara luas telah diterima adalah jika semua penduduk pada setiap saat dapat mengakses pangan dalam jumlah dan mutu yang sesuai bagi kehidupan yang produktif dan sehat. Akses terhadap pangan yang cukup merupakan hak asasi manusia yang berlaku di manapun. Fenomena kekurangan pangan yang masih sering terjadi di beberapa daerah di Indonesia menunjukkan, negara kita belum memiliki ketahanan pangan yang berkelanjutan. Ketahanan pangan yang tangguh ditandai dengan kemampuan mengatasi berbagai gejolak pangan akibat penurunan produksi maupun karena adanya kegagalan pasar.
Paradigma yang sampai saat ini dianut pemerintah dalam membangun sistem ketahanan pangan masih cenderung menggunakan pendekatan ketersediaan pangan. Pendekatan ketersediaan pangan menganggap bahwa ketahanan pangan dicapai jika persediaan bahan pangan yang ada cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi seluruh penduduk Indonesia. Pendekatan ini kurang memperhatikan aspek akses individu atau rumah tangga terhadap pangan yang tersedia. Akibatnya, kecukupan pangan yang terjadi pada tingkat nasional tidak dapat menjamin kecukupan pangan pada tingkat rumah tangga.
Bagaimana meningkatkan ketahanan pangan nasional?
Ketahanan pangan nasional yang tangguh akan sulit dicapai dan dipertahankan jika masih mengandalkan pada swasembada beras. Di satu sisi, konsumsi beras terus menunjukkan kenaikan, sedangkan di sisi lain produksi padi sulit ditingkatkan. Diperkirakan konsumsi beras per kapita per tahun saat ini sekitar 135 kg, belum lagi peningkatan akibat pertumbuhan jumlah penduduk. Sedangkan konsumsi beras per kapita per tahun di Jepang sekitar 60 kg dan Thailand sekitar 80 kg.
Ketahanan pangan nasional yang tangguh dapat dicapai dengan menurunkan konsumsi beras dan diversifikasi pangan. Salah satu sumber bahan pangan untuk diversifikasi adalah gandum yang pasar dunianya lebih aman dibandingkan beras. Perdagangan gandum dunia rata-rata sebesar 100 juta ton per tahun. Sedangkan perdagangan beras dunia berfluktuasi antara 11 juta--25 juta ton per tahun. Namun bukan saja volume perdagangan gandum yang jauh lebih besar daripada beras, tetapi juga lebih banyak sumber penawaran yang dapat dimanfaatkan Indonesia.
Mengapa gandum?
Karena penerimaan masyarakat terhadap sumber bahan pangan lain, seperti jagung, singkong, ubi jalar, dan sagu, hanya bersifat lokal. Sedangkan tepung terigu hasil olahan dari gandum telah diterima secara nasional dengan tingkat konsumsi per kapita per tahun yang terus meningkat. Saat ini Indonesia membutuhkan sekitar 3,8 juta ton terigu per tahun, setara dengan 4,5 juta--5 juta ton biji gandum. Di samping mengimpor gandum untuk diproses menjadi terigu, Indonesia juga mengimpor terigu langsung dari luar negeri, sekitar 10%--14% dari pangsa terigu nasional.
Sekitar 70% tepung terigu diserap industri kecil yang memproduksi mi basah, mi kering, roti, biskuit, gorengan, dan penggunaan langsung oleh rumah tangga. Dengan demikian pada dasarnya pengguna utama terigu adalah perusahaan kecil, menengah, dan industri rumah tangga. Ada sekitar 30.000 perusahaan tradisional skala kecil, menengah, dan industri rumah tangga yang tergantung pada terigu sebagai bahan baku. Diperkirakan industri tersebut mampu menyediakan lapangan kerja sebanyak 700 ribu orang. Jumlah tersebut di luar tenaga kerja yang terserap di sektor pemasarannya, seperti distributor, grosir, toko, warung, dan penjaja. Jumlah itu perlu ditambah lagi dengan tenaga kerja yang diserap industri berbahan baku terigu skala besar dan modern yang diperkirakan sekitar 100 ribu orang.
Gandum yang diimpor dan diolah menjadi tepung terigu dan kemudian diolah lebih lanjut menjadi bentuk-bentuk turunannya ternyata memberikan nilai tambah bagi perekonomian nasional dan sekaligus menciptakan lapangan kerja. Sehingga dengan demikian industri terigu tidak saja diharapkan ikut menyumbang pada persediaan bahan pangan nasional, tetapi juga ikut memperbaiki aksesibilitas rumah tangga terhadap pangan melalui peningkatan pendapatan rumah tangga dan harga pangan yang terjangkau.
Lebih jauh lagi, melihat potensi keragaman sumberdaya lahan yang dimiliki Indonesia, besar kemungkinan komoditas gandum juga dapat diusahakan secara ekonomis di dalam negeri. Identifikasi lahan-lahan yang berpotensi, ketinggian 600– 1.000 m di atas permukaan laut, untuk ditanami gandum dan penelitian adaptasi varietas gandum yang cocok ditanami di berbagai wilayah di Indonesia tampaknya perlu lebih diintensifkan. Dengan demikian kita mampu memproduksi gandum sendiri sehingga tidak sepenuhnya tergantung impor.
Untung Jaya