Berawal dari tawaran seorang sahabatnya untuk membantu petani padi, Emily Sutanto kini menjadi eksportir beras organik.
Meskipun sejak usia 9 tahun, Emily Sutanto sudah hidup dan belajar di luar negeri, bukan berarti dia lupa akan kampung halamannya, Jakarta. Sekembalinya dari menuntut ilmu, seorang sahabat keluarganya menawari dia untuk membantu petani beras organik agar produknya bisa diekspor.
Mulanya wanita cantik yang periang ini sempat ragu karena tidak paham benar tentang beras dan sistem budidaya SRI (system of rice intensification) yang diterapkan petani di Tasikmalaya saat itu. Sempat pula Emily bertanya dalam hati, apakah Indonesia bisa memproduksi beras organik sesuai standar permintaan negara tujuan.
“Aku akhirnya putuskan melihat sendiri bagaimana petani itu dalam proses produksinya,” kenang Direktur Utama PT Bloom Agro ini. Proses produksi oleh petani yang masih terbilang tradisional membuat Emily kagum. Semangat petani yang besar untuk maju dan mampu mengekspor beras, menambah keyakinannya bahwa beras mereka dapat merambah mancanegara.
Pecinta kuliner dan bertekad harus bisa memasaknya ini menerangkan, beras organik yang dihasilkan di Tasikmalaya begitu orisinal. Secara fisik beras itu lebih empuk dan butirannya lebih berat dibandingkan beras biasa. Selain itu, menurutnya, beras organik lebih kaya serat dan vitamin.
Sertifikasi sebagai Visa
Emily menyadari, tidak mudah untuk bisa memenuhi kebutuhan pasar beras organik di pasar dunia. Sebab kata-kata organik adalah berhukum, artinya memiliki kekuatan hukum sehingga petani juga harus memenuhi syarat yang ditentukan oleh pasar tujuan. Salah satunya yang terpenting adalah sertifikasi.
Karena itu, sejak merintis bisnis pada awal 2008, wanita energik ini lebih dulu melihat riset sertifikasi beras organik yang ada di Indonesia. Ternyata semua yang dikatakan beras organik belum ada sertifikat yang menyatakan produk-produk itu benar-benar organik. “Semuanya berupa sertifikat bebas residu bahan kimia saja,” tandas peraih master bidang Manajemen Internasional dan Komunikasi Massa dari Pepperdine University, Los Angeles, California dan Bond University, Australia ini.
Dia juga melihat adanya salah anggapan. Sertifikat yang dikeluarkan lembaga tertentu dan kemudian dilabelkan di kemasan bukanlah sertifikat organik tapi sertifikat uji laboratorium. Emily mengibaratkan, sertifikat ini sebagai sebuah visa, jadi jika seseorang mau masuk ke suatu negara, ia harus punya visa negara itu.
Ada tiga negara yang sangat ketat menerapkan standar beras organik, yaitu Amerika, Uni Eropa, dan Jepang. Sementara negara-negara lain biasanya mengikuti salah satu standar dari tiga negara tersebut. Wanita muda ini pun mencari lembaga sertifikasi terakreditasi di dunia untuk mendapatkan sertifikat dari tiga negara itu. Alasannya, agar beras organik Tasikmalaya bisa masuk ke negara-negara lain yang juga mengikuti standar mereka. “Seperti Singapura yang standar beras organiknya mengacu pada standar Amerika, maka kita akan bisa masuk ke pasar Singapura,” tuturnya.
Emily menyadari untuk mendapatkan sertifikat organik tidak mudah. Banyak tahapan yang dilaluinya, tapi semua dapat dilewati dengan lancar. “Aku berpikir karena petani sudah memproduksi beras organik yang begitu banyak dan sudah maju, maka kenapa tidak mencoba untuk memenuhi standar negara-negara tersebut,” imbuhnya bersemangat. Akhirnya, upaya gadis ini berbuah manis dengan masuknya beras organik Tasikmalaya ke Amerika sebanyak 18 ton Agustus lalu.
Petani Tidak Boleh Pasrah
Sejak merintis jalan menjadi eksportir beras, seringkali kelugasan sikap Emily dan cara mengatasi masalah yang langsung ke pokoknya acapkali berbenturan dengan petani yang lebih bersikap menerima. Bahkan ia menyadari banyak petani yang frustrasi dengan dirinya. “Aku bilang ke mereka, kalau mau mandiri mereka harus mau memecahkan problem sendiri, tidak boleh pasrah menghadapi persaingan yang berkembang,” jelasnya.
Wanita yang sangat fasih berbahasa Inggris ini mengaku punya pengalaman tak terlupakan ketika dirinya dibilang cerewet. Waktu itu dia melihat kualitas beras yang digiling petani masih kurang bagus sehingga dia meminta setelan mesin gilingnya diubah, gabah dibersihkan dulu sebelum digiling, dan seterusnya.
Emily juga berkomitmen untuk melaksanakan prinsip fair trade dalam perdagangan beras organik. “Petani juga harus memperoleh hak-haknya, mendapatkan harga yang sesuai dan mendapatkan keadilan yang sama,” jelasnya. Prinsip ini memberikan petani kebebasan mengembangkan usahanya dan berinovasi dengan produknya. “Tujuan dari fair trade ini ‘kan untuk menyejahterakan petani dan membuat quality of life petani lebih baik,” ucapnya.
Dengan alasan itu pula Emily tidak mau menekan harga beli di tingkat petani mitranya yang kini berjumlah 2.333 orang dengan total luas sawah 330 ha. “Saya ingin tumbuh bersama dengan mereka. Kita bekerja bersama-sama untuk beras organik dari Indonesia ini,” lagi-lagi dengan semangat yang menggebu. Agar petani memperoleh nilai tambah lebih tinggi, dia tidak membeli beras langsung dari petani tapi melalui gabungan kelompok tani (Gapoktan). Gapoktan inilah yang memiliki penggilingan padi sehingga petani anggotanya mendapat nilai tambah dari perangkat milik bersama tersebut.
Pembelian beras dari gapoktan itu juga berarti memotong rantai panjang pemasaran hasil padi yang selama ini terjadi dan memperkecil ruang gerak bagi tengkulak. Dengan pola ini pula petani memiliki tanggung jawab besar untuk selalu mempertahankan kualitas produknya. Karena itu Emily selalu mendorong para petani untuk lebih inovatif dan selalu memberikan nilai tambah pada produknya.
Tri Mardi Rasa