Gara-gara buku karya penulis Jepang, Masanobu Fukuoka, itu, dirinya tertarik melestarikan varietas-varietas padi lokal yang menghasilkan nasi enak dan wangi.
Buku Revolusi Sebatang Jerami menceritakan tentang pertanian yang memanfaatkan kondisi alam sehingga tetap lestari. Pesan pelestarian ini mengusik benak Ika Suryanawati. Perhatiannya pun lalu tertuju pada varietas-varietas padi lokal yang kini sudah tidak ditanam petani lagi. Varietas padi yang menghasilkan beras wangi dan nasi enak itu nyaris hilang. Pasalnya, dianggap kurang ekonomis, umurnya panjang, dan harga jual gabahnya tidak sesuai dengan biaya produksi yang dikeluarkan.
Ika, demikian biasa ia disapa, petani organik di Desa Cugenang, Cianjur, Jabar, kemudian mengembangkan padi varietas lokal, seperti Hawara Batu, Gobang Omyok, Peuteuy, Banggala, Pandanwangi, Beureum Seungit, Ketan Cikur, dan Cogreng yang hampir hilang tersebut. “Saya merasa dan melihat keberadaan padi-padi tersebut semakin langka sehingga saya tertarik untuk menanamnya kembali,” cetusnya kepada AGRINA.
Di lahan miliknya, Ika memulai proyek idealisnya pada 2005. Sama seperti sistem pertanian organik yang dilakukannya, budidaya padi ini juga dengan cara tradisional, jauh dari sentuhan pupuk kimia dan pestisida.
Berburu Bibit
Untuk mendapatkan benih varietas padi yang sudah langka sangatlah sulit. Bahkan mesin pencari internet pun tak mampu menjawab keinginan Ika tersebut. “Saya tidak menemukan apa yang saya inginkan,” tandas ibu tiga orang anak ini.
Dengan sabar dan tak mudah menyerah, Ika pun memutuskan untuk mencari sendiri ke lapangan. Beberapa petani di Cianjur dikunjunginya, tapi hampir semuanya memberikan jawaban yang sama, mereka sudah lama tidak menanam padi tersebut. “Jadi, tidak ketemu,” tandas alumnus Fakultas Pertanian IPB ini.
Hingga pada pertengahan 2006, informasi tentang benih padi itu justru didapatkan dari seorang petani tua yang ada di daerahnya sendiri, Desa Cugenang. “Tapi tidak mudah lho dapetinnya karena benih ini sudah tercampur dengan jenis lainnya. Butuh ketelitian memilihnya,” kenang ibu dari Abraham, Amanda, dan Andrean tersebut.
Dan demi keinginan untuk melestarikan padi langka tersebut, Ika pun rela meletakkan karirnya di sebuah perusahaan kontraktor yang cukup ternama di Jakarta. “Mungkin ini karena keinginan saya sejak lulus dari kuliah bekerja sebagai seorang petani,” ucap wanita berusia 42 tahun ini sambil tertawa.
Bermitra dengan Petani
Meskipun banyak kendala yang dihadapi dalam pengembangannya, Ika tetap terus berupaya melestarikan padi dengan varietas lokal itu. Awalnya untuk konsumsi pribadi, sebab aroma dan rasa dari beras-beras varietas tersebut, menurut dia, sangat enak. Namun, karena ada konsumen yang mencari, maka ia pun mengembangkannya sebagai bisnis. “Sayang jika varietas unggul ini hilang tanpa ada pelestariannya. Apalagi banyak juga peminatnya untuk pasar di Jawa Barat,” katanya.
Istri Jonathan Fleming Wong ini tidak bisa sendirian mengelola bisnis ini hanya bermodalkan sawah miliknya yang dua hektar itu. Ia lalu merangkul sejumlah petani untuk menjadi mitranya. Sistem kerjasamanya, yaitu petani menyediakan lahan dan tenaga kerja, sedangkan dirinya memberikan pupuk dan benih. Hasil panen mereka dibagi dua. Atau, bisa saja petani menyediakan semua modal budidaya, lalu hasil panennya dijual ke Ika. Dalam hal ini, Ika memberikan harga Rp500—Rp700 per kg lebih tinggi ketimbang harga pasaran. “Dengan harga pembelian yang lebih tinggi ini akan memacu mereka untuk menanam jenis-jenis ini kembali,” dalih wanita kelahiran Jakarta yang besar di Cianjur ini.
Dalam kerjasama tersebut, petani harus mengikuti metode dan sistem yang diterapkannya. “Jadi cara penanaman dan pengelolaan tetap ada di tangan saya,” kata wanita yang memilih Jurusan Budidaya Pertanian ini. Sayang, banyak petani tidak sanggup mengikuti cara dan sistemnya, misal menanam satu lubang satu benih dan menggunakan pupuk organik.
Cara budidaya yang diterapkannya itu bukan tanpa alasan. Ika melihat, petani selalu memaksa alam agar bisa menghasilkan lebih. Pemaksaan dilakukan pada lahan pertanian dengan berbagai rekayasa kimiawi. Artinya, padi dipaksa tumbuh dan memproduksi hasil yang lebih banyak dalam tempo singkat.
Sejumlah petani pun berguguran. Kini, “Hanya 10 orang petani yang masih aktif bekerjasama dengan saya,” jelas yang senang membaca buku-buku pertanian ini. Padahal, tambahnya, cara budidaya tersebut sudah ada sejak dulu. Memang butuh waktu, tapi jika sabar pasti hasilnya juga memuaskan.
Setahun berlalu, hasilnya sangat luar biasa dan di luar dugaannya. Padinya bisa tumbuh subur. “Alhamdulillah, sekarang saya bisa merasakan kenikmatan nasi dari beras Cianjur asli yang beraroma wangi dan pulen,” ujar ibu kelahiran 14 September 1967 ini. Ia pun mengemas beras hasil panennya dan melabelnya dengan nama Gasol.
Alumnus SMA 1 Negeri Jakarta ini sangat percaya pada keselarasan alam dan manusia. Karena itu, ia menyerahkan sepenuhnya apa yang menjadi keinginan alam. “Jika kita memberikan perawatan yang baik pada tanaman dan lahan pertanian, maka alam pun akan memberi yang terbaik bagi kita karena alam punya cara sendiri untuk membalasnya,” tambahnya berfilosofi.
Perubahan akan selalu lahir dari sebuah harapan dan keyakinan sekecil apapun. Seperti keyakinan dan harapan Ika Suryanawati untuk melestarikan plasma nutfah padi ini.
Tri Mardi Rasa