Kalau dulu kita mengenal empat sehat lima sempurna, maka kini kita mengenal, beragam, bernutrisi, dan seimbang.
Franciscus Welirang, 58, tidak bosan-bosannya mengampanyekan tepung-tepungan sebagai sumber karbohidrat. ”Ketersediaan karbohidrat kita sekitar 150% dari total kebutuhan,” kata Franky, panggilan akrabnya pada diskusi publik ”Membangun Kedaulatan Pangan” yang dilaksanakan Forum Lumbung Pangan Nusantara, lembaga yang dipayungi Akbar Tanjung, Rokhmin Dahuri, dan Muhaimin Iskandar di Jakarta (3/9).
Menantu taipan Soedono Salim alias Liem Sioe Liong itu mengampanyekan pentingnya tepung-tepungan sejak tahun 2000. Sekarang, kita mengenal tepung ubi kayu, pisang, dan sebagainya. Tidak lagi hanya tepung terigu yang diproduksi Bogasari Flour Mills, milik Grup Salim.
Insinyur kimia plastik dari Institute South Bank Polytechnic, London, 1974, itu ingin membuka pola pikir (mindset) masyarakat bahwa tepung-tepungan itu tidak hanya dari gandum, tapi juga bisa dari umbi-umbian, buah-buahan, sayur-sayuran, dan sebagainya. Dari berbagai tepung tersebut, dapat dibuat Beras Komposit atau Beras Kompo. Ia ingin mengatakan, tepung-tepungan tidak sebatas untuk membuat kue atau mi, tapi juga bisa menjadi beras buatan.
Italia, menurut Franky, sudah mengembangkan teknologi nasi-buatan, tetapi mereka menghasilkan pasta yang mono (bukan komposit) karena itu memang sesuai selera mereka. Kita, menurut orang yang suka tampil dengan rambut gondrong ini, dapat membuat beras-buatan dengan berbagai rasa. ”Bahannya beragam, gizinya bisa diatur, dan sifatnya netral seperti nasi,” jelas pribadi yang selalu rendah hati ini.
Dalam diskusi yang dilaksanakan di Hotel Sofyan Betawi tersebut, Franky mengatakan, ketahanan pangan tidak hanya masalah pasokan, tetapi juga kulinologi (teknologi kuliner untuk melayani jutaan orang). Dengan teknologi ini, dapat diramu beras buatan dari berbagai macam tepung, sehingga bisa diterima jutaan manusia. ”Dulu ada empat sehat lima sempurna, kini menjadi beragam, bernutrisi, dan seimbang,” katanya.
Dalam bayangannya, suatu saat kita bisa makan beras rasa mangga, rasa pisang, rasa durian, rasa apel, dan sebagainya. ”Ini sebuah tantangan,” tegas Franky yang bercita-cita melahirkan dan melihat orang-orang sukses yang berperan dalam membangun Indonesia.
Mestinya Bebas PPN
Namun ada satu hal yang mengganjal di hati Franky. Penggagas Bogasari Baking Centre yang membantu inovasi pembuatan roti bagi pengusaha kecil ini risau dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pascapanen. Misalnya pengeringan. Jika dikeringkan dengan matahari, produk-produk pertanian bebas dari PPN. Namun, kalau dikeringkan dengan mesin, PPN-nya dihitung sehingga industri pascapanen di Indonesia tidak berkembang.
Padahal, dalam pembuatan tepung-tepungan diperlukan pengeringan. Mestinya, lanjut suami Myra Salim ini, dalam pascapanen, yang antara lain memilih, memipil, mengeringkan, dan mendinginkan, tidak perlu dikenakan PPN. Dengan begitu industri pascapanen skala kecil bisa berkembang di sini. Tapi di Indonesia yang terjadi sebaliknya. Akibatnya, ”Banyak industri pengolahan makanan kita berbasis di Malaysia karena bebas PPN,” ujarnya sembari mengepal tinjunya.
Apa yang terjadi? ”Kita menjadi tukang impor makanan (olahan) dari (Malaysia),” tukas pria kelahiran Padang, Sumbar, 9 November 1951, ini. Tak pelak, nilai tambah industri makanan olahan itu justru jatuh ke tangan Malaysia, bukan ke tangan Indonesia.
Beras Kompo
Dalam bayangan Franky, bila sudah ditemukan formula yang pas oleh ahli kulinologi, Beras Kompo ini tidak hanya diproduksi perusahaan berskala besar, tetapi juga perusahaan yang berskala kecil di daerah-daerah. Bila pemerintah mempunyai komitmen politik yang kuat, ia yakin Beras Kompo ini akan berkembang di daerah-daerah. ”Saya yakin, dalam lima tahun ini bisa berjalan dengan baik,” tandasnya.
Bila kita berhasil memproduksi Beras Kompo secara massal, berskala kecil, imbuh Franky, kita tidak perlu risau dengan menurunnya produksi beras. Bila banyak yang beralih menyantap Beras Kompo, berarti kita bisa mengurangi konsumsi beras nasional.
Mewujudkan Beras Kompo memang tidak mudah. Tapi berkat dukungan pemerintah, beras buatan beragam bahan baku ini, dapat menjadi makanan pokok pada masa mendatang.
Syatrya Utama