Membangun pertanian merupakan keharusan karena pertanian adalah “ibu” dari seluruh sektor.
Jika pembangunan sektor pertanian sudah beres, maka pembangunan sektor-sektor lainnya pun akan lebih mudah dibereskan. Karena merupakan “ibu” dari semua sektor, pertanian memainkan beberapa fungsi strategis sebagai sumber penghidupan berjuta-juta rakyat, mata pencaharian pokok, sumber pendapatan, penyedia bahan makanan dan bahan baku industri, serta menjadi basis perekonomian nasional. Demikian Dr. Ir. Mohammad Jafar Hafsah, Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) bidang Kelautan, Perikanan, Pertanian dan Kehutanan (KPPK) Partai Demokrat memandang sektor pertanian ketika berbincang dengan AGRINA di rumahnya di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
Menurut pria asal Soppeng, Sulsel, ini rapuhnya pembangunan masa lalu yang berujung pada krisis ekonomi 1998 disebabkan transformasi struktural yang timpang. Ia mengamati, pembangunan pertanian selama ini hanya ditempatkan sebagai syarat semata untuk beralih ke sektor industri manufaktur dan jasa. Tak pelak pencapaian di sektor pertanian yang pernah diwujudkan hanyalah artifisial semata dan tidak berkelanjutan.
Diperparah lagi sektor industri dan jasa yang dikembangkan pemerintah tidak terkait erat dengan pertanian yang menjadi sumberdaya dasar sebagai pijakannya. “Jika pertanian tidak lagi ditempatkan sebagai ibu, secara perlahan bergeser menjadi anak tiri,” tegas Pak Jafar, demikian rekan-rekannya biasa menyapanya.
Kembali ke Posisi
Jafar melihat, dalam lima tahun terakhir sepanjang masa pemerintahan Presiden SBY, sudah ada pembangunan pertanian dengan kesadaran ekonomi perdesaan yang berbasis pertanian. Dengan demikian pertanian memiliki daya redam yang memadai terhadap berbagai dampak krisis dan telah mengembalikan posisi pertanian pada tempat yang semestinya.
“Berbagai pencapaian dan prestasi yang telah diwujudkan di subsektor tanaman pangan telah mengantarkan Indonesia berswasembada beras pada 2008. Ini merupakan prestasi yang menggembirakan, apalagi di saat yang sama terjadi krisis pangan global,” puji tamatan Universitas Hasanuddin 1975 ini.
Tidak hanya penambahan produksi, Nilai Tukar Petani (NTP) pun mengalami peningkatan. NTP nasional pada 2004 sebesar 103 naik menjadi 110 pada 2008. “Artinya, peningkatan produksi yang dilakukan telah memberikan peningkatan kesejahteraan bagi petani,” jelas alumnus S-2 dan S-3 di Fakultas Pascasarjana IPB Bogor ini.
Selanjutnya, tinggal melanjutkan dan meningkatkan berbagai pencapaian yang telah diraih. Seiring tuntutan demokrasi dan semakin terintegrasinya perekonomian nasional ke dalam perekonomian dunia, maka paradigma pembangunan pertanian ke depan seyogyanya berorientasi pada terwujudnya pertanian modern berbudaya industri dan berkelanjutan yang bertumpu pada kemampuan bangsa untuk menyejahterakan masyarakat.
Berdasarkan paradigma pembangunan pertanian tersebut, perspektif pembangunan pertanian nanti harus mengedepankan pembangunan pertanian demokratis dan berkeadilan, mewujudkan petani sejahtera, sehingga menciptakan bangsa kita damai dan aman yang akan menstimulasi peningkatan investasi ke sektor pertanian.
Selain itu, menumbuh-kembangkan insentif peningkatan produktivitas, mutu dan produksi pertanian, serta peningkatan mutu, efisiensi, dan produktivitas pertanian yang meningkatkan daya saing sehingga menjamin keberlanjutan pembangunan pertanian sebagai landasan pembangunan nasional yang berefek berganda ke segala sektor dan bidang. “Ke depan, pembangunan pertanian ditempuh melalui dua strategi pokok, dengan tatakelola sektor pertanian yang baik (good governance) dan pembangunan pertanian untuk memenuhi hak dasar masyarakat petani dan menciptakan landasan kokoh pembangunan nasional,” terang Jafar dengan nada berapi-api.
Dari Birokrat ke Politik
Ide-ide Jafar tentang pembangunan pertanian tersebut tak lepas dari rekam jejak sebelumnya sebagai Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan, Deptan. Untuk lebih total memperjuangkan sektor ini, sejak 2005 ia banting setir ke dunia politik praktis. Pilihan hatinya masuk gerbong Partai Demokrat. “Niat saya berpolitik menjadikan parpol sebagai basis pengabdian. Dari panggung ini saya berniat mengembangkan politik yang berorientasi pada upaya pencukupan pangan rakyat,” ungkap anggota DPR RI terpilih periode 2009—2014 dari Dapil Sulsel II.
Melalui parpol, suami Monirah Adama ini melihat ada peluang lebih terbuka dalam upaya mencarikan solusi terhadap masalah-masalah pangan rakyat. Obsesinya, selain ingin berjalan sesuai etika partai dan etika berpartai, juga ingin menjadikan partai sebagai basis dalam memperjuangkan pangan rakyat.
Jafar mencontohkan, mengenai pangan Amerika Serikat yang sangat kuat. Tahun lalu saja kekuatan pangannya mencapai 48% pangan dunia. “Padahal, hanya sekitar 6% saja dari ketahanan pangannya telah mencukupi untuk mengatasi pangan penduduknya yang 300 juta jiwa itu,” singgung ayah empat anak ini.
Pria kelahiran 17 Pebruari 1949 ini pun menekankan, masalah pangan rakyat adalah masalah sangat penting. Ini masalah hak asasi manusia dan negara wajib memenuhi. Kata dia, seberapapun banyak uang, kalau tak ada pangan tak berguna. “Kelangsungan hidup di alam ini, tidak bisa lepas dari pangan. Banyak uang tapi tanpa ada bahan makanan, tak mungkin toh kelanggengan hidup di bumi akan normal?” tukas Jafar yang sudah banyak menulis buku itu.
Dalam bekerja, ia merasa harus selalu bersemangat dan setiap tantangan harus ditaklukkan. “Hasil maksimal memang selalu saya harapkan, meski kadang kala apa yang diusahakan tidak selalu sesuai dengan harapan besar saya. Hanya satu hal yang selalu saya jaga, yakni jangan pernah menyerah sebelum berhasil,” ucapnya mengakhiri perbincangan.
Yan Suhendar, Dadang WI