Proteksi dan insentif akan selalu dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
Sejak masuk di Deptan sampai saat ini, yang selalu menjadi pemikiran Ir. Sutarto Alimoeso, MM, adalah bagaimana cara meningkatkan kesejahteraan para petani dan benar-benar dinikmati para petani sendiri. Oleh sebab itu diperlukan proteksi dan insentif yang diberikan pemerintah kepada petani kita.
Dengan proteksi dan insentif yang diberikan kepada komoditas pertanian, menurut Dirjen Tanaman Pangan itu, petani akan terlindungi dan kesejahteraannya meningkat. “Salah satu cara yang telah ditempuh adalah memberikan subsidi benih dan pupuk, terutama benih padi yang menjadi kebutuhan pokok sebagian besar warga negara Indonesia,” kata pria kelahiran 25 Juni 1949 ini.
Menurut Pak Tarto, sapaan akrabnya, pada 2009, pemerintah mengalokasikan subsidi pupuk sebanyak Rp16,46 triliun dan subsidi benih hingga Rp1,3 triliun, sedangkan anggaran sektoral mencapai Rp1 triliun. Sementara itu, harga pembelian pemerintah (HPP) gabah dan beras untuk tahun ini juga ditingkatkan. HPP gabah kering panen (GKP) di tingkat petani Rp2.400 per kg, gabah kering giling (GKG) Rp3.000 per kg, dan beras Rp4.000 per kg.
Pangan Stabil
Sutarto menilai, kondisi ketahanan pangan di Indonesia saat ini cukup stabil. Bahkan tahun lalu, ada kenaikan stok pangan di Indonesia sebesar 4,7% dari jumlah kebutuhan pangan yang ditargetkan pemerintah.
Sejalan perubahan pola hidup dan semakin panjangnya usia harapan hidup masyarakat Indonesia, terjadi pula perubahan ketersediaan pangan. Karena itu perlu diversifikasi pangan sesuai dengan kekuatan lokal ke arah yang lebih baik melalui penambahan luas areal pertanian dan penerapan teknologi tinggi. Ini diharapkan bisa memperkuat ketahanan pangan melalui upaya peningkatan hasil-hasil pertanian.
Lebih jauh ia menjelaskan, kebutuhan pangan meliputi ketersediaan karbohidrat, seperti beras, vitamin yang terdapat pada buah-buahan, protein baik hewani maupun nabati. “Yang memprihatinkan adalah terjadinya perubahan konsumsi pangan, yaitu kebiasaan mengonsumsi karbohidrat berbahan baku gandum, seperti roti dan mi instan, yang tidak dapat tumbuh di Indonesia dan harus impor dari negara lain,” ungkapnya.
Padahal, imbuh dia, bahan baku karbohidrat yang bisa menjadi makanan pokok bangsa Indonesia tersedia melimpah, seperti beras, jagung, ubi-ubian, dan sagu. Karena itu perlu dicarikan solusi penyajian yang baik dan modifikasi dari bahan baku kebutuhan pokok tersebut agar bisa memikat masyarakat mengonsumsinya untuk menggantikan gandum impor.
Pekerja Keras
Kerja keras dan pantang menyerah untuk meraih suatu cita-cita yang selalu ditanamkan orangtua sejak kecil merupakan kunci sukses dalam menjalani kehidupan yang serba keras. Maklum, Tarto lahir dari keluarga besar Mbah Alimoeso, seorang pendidik di Pacitan, wilayah pesisir selatan yang tandus. Ia menghabiskan masa kanak-kanak hingga tamat SMA di kota kelahirannya. Setamat SMA, ia hijrah ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikannya.
Tentang jurusan yang dipilih, suami Ny. Rohati ini berkata, yang penting meraih gelar Insinyur Pertanian. “Pilihan saya masuk Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada, dan tidak menuruti keinginan kakak saya, Mas Suyadi, untuk menjadi seorang dokter dengan masuk Fakultas Kedokteran UGM. Ternyata itu membawa berkah yang begitu besar bagi saya dan keluarga. Bahkan kini saya dipercaya menduduki posisi strategis bagi ketahanan pangan di Indonesia yang pernah mendapat julukan negara swasembada pangan, meski pernah beberapa kali mengalami keterpurukan dalam menghadapi masalah pangan,” ia mengilas-balik masa lalunya.
Merampungkan pendidikannya di Fakultas Pertanian UGM pada 1974 dengan predikat cumlaude, ia pun mengadu nasib ke Jakarta. Ia disarankan melamar ke Ditjen Perkebunan. Namun karena tanggapan pimpinan yang kurang bersahabat, ia pun langsung membatalkan niatnya melamar di kantor itu.
“Atas saran kakak saya Mas Haryono (Haryono Suyono, mantan Kepala BKKBN), saya dianjurkan melamar ke Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan dan diterima. Bahkan saya langsung dipercaya untuk menangani berbagai proyek pertanian,” urai Tarto. Sifatnya yang belum lega kalau pekerjaan belum selesai membuat karirnya kian moncer.
Pengabdiannya di Direktorat Perlindungan Tanaman berakhir pada 1997 karena ia diangkat menjadi Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Kalimantan Barat. Hanya melakukan tugasnya setahun di sana, ia ditarik kembali ke Deptan. Sempat merampungkan pendidikan Magister Manajemen di STIE-IPWI Jakarta, karirnya terus menanjak sampai akhirnya meraih posisi Direktur Jenderal Tanaman Pangan pada 2006.
Kesibukannya menjalankan berbagai tugas, apalagi saat ini, berdampak kuantitas pertemuan dengan keluarga dan anak-anak agak kurang. Akibatnya anak-anak lebih dekat dengan sang ibu. Untuk menghangatkan semangat kekeluargaan, pada waktu senggang ia seringkali mengajak keluarganya jalan-jalan, minimal makan bersama di luar rumah.
Disinggung tentang pola mendidik anak, ayah tiga orang anak ini mengaku sangat demokratis, sehingga tidak ada satu anak pun yang mengikuti jejaknya sebagai pegawai negeri. Anak pertama dan keduanya (Adityo Wibowo dan Tita Nurahmi Kusumaningrum) alumni Fakultas Ekonomi dan kini telah menyelesaikan Magister Manajemen. Sedangkan si bungsu Renda Aryadi Budiharto, lebih menyenangi bidang kesenian, bahkan ia banyak mendidik para disk jocky (DJ) muda. “Saya akan mendukung apapun keputusan anak-anak, asalkan ditekuni dengan baik,” ucapnya mengakhiri obrolan dengan AGRINA.
Yan Suhendar