Kalau pemerintah tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, dapat dikatakan government failure.
Impor dan swasembada daging (sapi dan unggas) merupakan dua kutub yang berseberangan. Bagi pedagang, tak terlalu mempersoalkan dari mana sumber dagingnya, apakah impor atau dari dalam negeri, yang penting memperoleh keuntungan. Bagi pelaku industri daging, yang perlu ditekankan justru menggenjot produksi dalam negeri untuk mencapai swasembada. Daging impor, bisa menjadi ancaman bagi investasi yang telah ditanamkan.
Di mata Ir. H. Suswono, MMA, impor diperlukan kalau memang kebutuhan daging belum bisa dipenuhi pasokan dari dalam negeri. “Impor ini ‘kan sebetulnya dalam kondisi darurat. Jangan dijadikan permanen,” kata Wakil Ketua Komisi IV DPR-RI, yang membidangi Pangan, Pertanian, Kehutanan, Perikanan, dan Kelautan, kepada AGRINA.
Memang, menurut pria kelahiran Tegal, Jateng, 20 April 1959, itu adalah kewajiban pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, termasuk daging sapi dan unggas. Jika pasokan di dalam negeri belum mencukupi, maka keran impor dibuka. Sebab, “Kalau negara tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar (rakyatnya), dapat dikatakan government failure (kegagalan pemerintah),” katanya ketika ditemui di gedung DPR-RI.
Berikan Subsidi
Namun, di sisi lain, negara harus melindungi industri peternakan di dalam negeri, apalagi sebagian besar pelakunya adalah peternakan rakyat. Hal ini sejalan dengan misi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono: pro poor, pro growth, dan pro job. “Kalau sampai terjadi, impor itu yang penting murah, itu ‘kan sama saja membunuh peternakan di dalam negeri,” cetus alumnus Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan, IPB, itu.
Anggota DPR-RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) itu menyadari, daya saing industri peternakan kita masih lemah. Karena itu, imbuh dosen IPB ini, pemerintah harus memberikan subsidi kepada peternak, apakah dalam bentuk bibit, harga, dan sebagainya. “Kalau selama ini yang mendapatkan insentif itu petani dalam bentuk subsidi pupuk Rp17,5 triliun, peternakan terus terang masih terabaikan,” lanjut Suswono, yang juga mengajar di Universitas Ibnu Khaldun, Bogor.
Ayah empat anak itu memberikan contoh. Sekarang peternak sapi perah dalam posisi ditentukan industri pengolahan susu (IPS). Misalnya, kalau harga susu di pasar internasional jatuh, harga susu di tingkat peternak juga jatuh. Sebaiknya, kata suami Mieke Wahyuni itu, ada patokan harga susu di tingkat peternak. Kalau harga di luar negeri di bawah harga domestik, selisih harga beli IPS itu disubsidi pemerintah.
Atau, kalau tidak mau memberikan subsidi harga, kata pelajar teladan tingkat SLTA di tingkat Kabupaten Tegal, 1978 itu, pemerintah bisa menciptakan pasar langsung susu segar. Misalnya Departemen Pendidikan Nasional memberikan subdisi agar anak-anak SD sampai SLTA minum susu seminggu sekali. “Itu bisa menambah protein sehingga anak-anak bisa lebih cerdas. ‘Kan anggaran Depdiknas besar,” katanya.
Semestinya, menurut Suswono, peluang-peluang seperti itu perlu dimanfaatkan negara untuk menciptakan pasar. Kalau benar biaya produksi peternakan kita lebih tinggi dari luar negeri, pemerintah wajib memberikan subsidi agar peternak tetap bergairah. Adalah wajar, imbuhnya, kita memberikan subsidi kepada orang-orang yang bekerja seperti peternak. Orang-orang yang tidak bekerja saja kita berikan Bantuan Langsung Tunai (BLT). “Peternak ‘kan jelas, bekerja. Justru orang-orang yang bekerja inilah yang seharusnya diberikan insentif,” kata putra dari pasangan H. Asyraf dan Hj. Suratni, ini.
Target Swasembada
Kelahiran UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (UUPKH) merupakan salah satu upaya membina dan melindungi peternak. “Kalau UU ini dikatakan tidak pro-rakyat tidak benar. Justru UU ini memberikan perlindungan. Kita tahu, banyak peternak yang putus asa. Dengan UU ini, justru kita bangkitkan semangatnya,” tegas Suswono.
Ia memberikan contoh. Ada suatu peternakan yang tadinya jauh dari kawasan pemukiman, tetapi, karena perkembangan penduduk, semakin banyak masyarakat yang bermukim mendekati kawasan peternakan tadi. Yang disalahkan justru peternaknya dan dinilai beternak di kawasan pemukiman. “Kasihan mereka (peternak). Dengan UU ini kita atur. Di sini pemerintah harus mengatur kawasan-kawasan peternakan,” katanya.
Selain itu, menurutnya, UUPKH ini justru menekankan pentingnya swasembada daging. “Impor itu bersifat sementara. Justru yang kita upayakan adalah bagaimana supaya target-target pencapaian ke arah swasembada harus dilakukan secara sistematis oleh pemerintah,” tuturnya. Kalaupun keran impor daging dibuka, kata Suswono, tetap harus ada seleksi yang ketat, baik dari segi bebas dari penyakit maupun dari segi kehalalannya.
Di dalam UUPKH itu justru mengandung ada unsur-unsur yang “memaksa” semua entitas pemerintahan, swasta, dan pemangku kepentingan lainnya yang terlibat dalam peternakan tentang pentingnya swasembada daging. Misalnya dalam Pasal 3 huruf b disebutkan: mencukupi kebutuhan pangan, barang, jasa asal hewan secara mandiri, berdaya saing dan bekelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan peternak dan masyarakat.
Dengan adanya undang-undang ini, pemerintah “dipaksa” untuk meningkatkan produksi di dalam negeri untuk mencapai swasembada daging. Namun, Suswono menambahkan, produksi di dalam negeri itu tidak boleh hanya dikuasai pemain-pemain besar, tetapi juga pemain-pemain menengah, kecil, dan mikro. “Kita mengharapkan kemitraan yang saling menguntungkan. Di sinilah pentingnya peran pemerintah untuk mengawasi kerjasama itu,” pungkas lulusan Progam S2 Magister Manajemen Agribisnis IPB itu.
Syatrya Utama