Selasa, 23 Juni 2009

Benny Tjia, Peneliti NASA yang Bertani

Memberdayakan masyarakat agar bisa menghidupi dirinya sendiri menjadi impiannya sejak lama. Petani tanaman hias Indonesia harus bisa jadi pengusaha, bukan sebatas bertani.

Membina petani. Itulah yang selalu dilakukan Benny Tjia di sekitar Bogor sejak delapan tahun silam. Kini hari-hari lelaki pemilik nurseri Mandiri Jaya Flora ini habis untuk berkeliling mengontrol tanaman dan para pekerja di kebun miliknya. Ia juga masih membina petani tanaman hias yang berada di sekitar lokasi usahanya.

Sejak lama Benny memendam mimpi mampu memberdayakan petani agar mereka mandiri dari hasil usaha masing-masing. “Saya juga pingin masyarakat di sini seperti masyarakat di Amerika yang tidak hanya sekadar menjadi petani tanaman hias saja tapi juga pengusaha,” katanya ketika ditemui di kebunnya Desa Munjul, Kecamatan Sukamanah, Bogor.

Tidak Semua Orang Berhasil

Memang awalnya pria sepuh ini mengaku kesulitan berinteraksi dengan masyarakat tersebut. Apalagi ia juga pendatang di tempat ini. Banyak dari mereka tidak percaya dengan apa yang dilakukannya. Tidak patah semangat, ia pun mencoba untuk bertemu petani-petani tanaman hias dan memberi mereka bibit-bibit tanaman hias yang bagus-bagus untuk ditanam.

Tak sebatas itu. Para petani diajarkannya cara menanam dan menjual agar meraih keuntungan lebih. Berupaya lebih dekat lagi, Benny pun mencoba terlibat bekerja di lahan pertanian masyarakat dan lahan miliknya sendiri. “Selama ini mereka hanya menanam dan memasukkan dalam pot lalu menjualnya. Dengan begitu, tanaman akan dihargai oleh orang sembarangan. Oleh karena itu mereka harus dibina bagaimana bekerja yang efisien, menjaga tanaman dan memperbanyak tanaman, dan yang penting menghargai waktunya,” jelas pria berusia 82 tahun ini.

 

Bapak yang lebih senang mengenakan celana pendek ini mengatakan, “Saya hanya sebatas membantu berkebun, sebab cara ini yang saya bisa, tapi mereka harus mengikuti peraturan saya dan tidak bisa tidak,” tuturnya tegas. Dengan aturan mainnya itu, banyak petani mendukungnya. Setiap kali menyambangi desa mereka, Benny selalu mendiskusikan masalah pemasaran dan budidaya tanaman hias saat ini agar hasil kerja mereka lebih dari biasanya.

Benny mengakui, pembinaannya terhadap petani tidak semuanya membuahkan hasil, “Awalnya dari 20 orang yang berhasil empat orang, dan itu saya lakukan hampir empat tahun,” ungkap suami Jenny ini. Sisanya kembali mengikuti pola lamanya. Bahkan mereka menggunakan bantuan modal usaha yang diberikannya sebanyak Rp500 ribu per orang untuk keperluan lain. “Yang penting bagi saya, biarlah yang tidak berhasil ini menyadari sendiri apa yang telah dilakukannya. Jika mereka merasa tidak ada perkembangan toh akan kembali lagi ke sini,” cetusnya. Prediksinya sangat tepat. Beberapa petani yang dulu tidak mau mengikuti pola yang diterapkan Benny, minta diajak bergabung kembali dalam kelompoknya.

Magang Kerja di Luar Negeri

Belakangan tidak hanya petani yang menjadikan Benny sebagai tempat menimba ilmu. Beberapa mahasiswa pun memanfaatkannya untuk magang kerja. “Bila memang serius ingin menekuni bidang florikultura, saya akan menjadi sponsor mereka untuk magang kerja di luar negeri,” katanya.

Sedikitnya ada empat mahasiswa per tahun yang berangkat ke Amerika untuk mengikuti program magang di beberapa nurseri. Selama di sana mereka mendapat banyak pengalaman karena tidak hanya bekerja tapi juga belajar florikultura. Program ini bisa dibilang salah satu dari keinginan Benny agar generasi muda Indonesia percaya, dunia pertanian pun menjanjikan peningkatan ekonomi seperti sektor kerja lainnya.

“Jangan sampai mereka yang sudah mempunyai basic pertanian kemudian meninggalkannya hanya untuk mengejar uang ke kota. Mereka itu harus bisa membangun potensi pertanian yang ada di desanya agar bisa mandiri,” jelasnya bersemangat. Terkesan retorik memang, tapi fakta lapangan berbicara. Banyak pemuda berpotensi besar untuk usaha di pertanian lari dari bidang yang dikuasainya.

Tidak Direstui Orangtua

Perjalanan Benny menekuni usaha florikultura berawal dari keinginannya menjadi petani tidak mendapat restu orangtuanya. “Orangtua mana pun tidak akan mau anaknya bercita-cita jadi petani saat itu,” katanya mengenang ucapan orangtuanya yang lebih menginginkan Benny jadi dokter.

Saat itu ia ingin berkuliah di IPB Bogor tapi nilainya kurang sehingga gagal.  Lalu penyuka buah-buahan ini pun pindah haluan masuk ke Fakultas Ekonomi, Universitas Parahyangan Bandung. Namun baru setahun belajar, ia memilih keluar.

Pada 1959 Benny belajar chemistry untuk mempersiapkan diri masuk ke sekolah kedokteran di Amerika. Semasa belajar itulah perkenalan Benny dengan bunga berawal. Berkuliah di Universitas Missouri, kemampuan Benny juga semakin terlihat menonjol dalam mata kuliah tambahan flower arranging. Semangatnya semakin menggebu hingga ia mencapai gelar doktor bidang florikultura.

Sebelumnya ia juga telah menempuh riset post doctoral research bidang kehutanan di Ohio sampai menjadi asisten profesor riset di Universitas Kentucky. Ia pun menjadi  asisten profesor dan associate profesor di University Florida pada 1973—1988. 

Berbekal pendidikan tersebut dan pengalaman mengelola rumah kaca di Miami, Florida, Benny kembali ke Indonesia. “Indonesia telah memberikan kebanggaan bagi saya dan saya ingin kembali berkarya di sini,” kata blasteran Cirebon dan Majalengka ini. Padahal di Negeri Paman Sam itu dirinya sangat dihargai sebagai salah seorang peneliti di lembaga antariksa NASA, konsultan, dan dosen. Tapi  keteguhan hatinya untuk kembali ke Indonesia lebih kuat.  “Saya lebih senang tinggal di sini karena telah banyak memberi inspirasi saya. Inilah yang tidak bisa dinilai dengan apapun,” tutur Benny menutup perbincangan.

Tri Mardi Rasa

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain