Rabu, 10 Juni 2009

Masa Depan Kelapa Sawit Indonesia di Tangan Petani (Tulisan Pertama dari Dua Tulisan)

“Industri kelapa sawit memiliki peranan sangat penting bagi perekonomian Indonesia, antara lain sebagai penghasil devisa, penyerap tenaga kerja sebanyak 3,7 juta kepala keluarga, penggerak utama agribisnis, dan mendorong pertumbuhan wilayah,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000—2004, saat diwawancara AGRINA.

Bagaimana pola pengusaha dan perkembangan kelapa sawit kita?

Tiga pola pengusahaan industri kelapa sawit di Indonesia, yakni perkebunan negara, perkebunan swasta, dan perkebunan rakyat. Saat ini total areal kelapa sawit Indonesia lebih dari 7 juta ha. Perkebunan rakyat telah mencapai 3,3 juta ha dan memiliki proporsi terbesar, 46,3%, dari total areal, diikuti perkebunan swasta 43%, dan perkebunan negara 10,7%. Sedangkan pada 1979, luas areal perkebunan rakyat hanya 3.125 ha atau 1,2% dari total areal.

Dalam kurun 1911—1989, industri kelapa sawit mengalami pertumbuhan yang relatif lambat. Butuh 80 tahun untuk mencapai luas 1 juta ha, dan selama kurun waktu itu perkebunan negara menguasai proporsi paling besar. Kemudian dalam 20 tahun terakhir (1990—2009) tumbuh secara dramatis dari 1,13 juta ha menjadi 7,13 juta ha. Jika dirata-ratakan, saat ini kita hanya memerlukan waktu tiga tahun untuk menambah 1 juta ha. 

Kita justru tidak menyadari perkembangan perkebunan kelapa sawit rakyat yang luar biasa. Jika pada 1979 hanya 3.125 ha, 1989 menjadi 223.832 ha, 1999 menjadi 1,04 juta ha, dan 2009 berkembang pesat menjadi 3,3 juta. Pada dekade terakhir terjadi perkembangan perkebunan rakyat yang luar biasa, lebih dari 2 juta ha. Perkembangan yang luar biasa itu terjadi pada masa Indonesia dalam kondisi krisis moneter dan ekonomi. Hal itu menunjukkan, perkebunan kelapa sawit rakyat berkembang tanpa bantuan pemerintah dan hampir tidak ada dukungan perbankan.

Demikian juga perkembangan produksi CPO (minyak sawit mentah) oleh perkebunan rakyat. Pada 1979 hanya 760 ton, 1989 menjadi 183.689 ton, 1999 menjadi 1,55 juta ton, dan 2009 melonjak menjadi 6,31 juta ton. Akibat dari pertumbuhannya yang cepat dan tidak banyak diketahui orang membuat studi mengenai hal tersebut sangat minim. Alhasil, pengetahuan kita mengenai mereka pun sangat minim. Sehingga kadangkala pemerintah membuat kebijakan perkelapasawitan ini tanpa memperhatikan perkebunan rakyat.

Apa yang mempengaruhi pertumbuhan kelapa sawit tersebut?

Ekspansi perkebunan kelapa sawit tersebut dipengaruhi permintaan yang cukup besar, baik oleh pasar internasional maupun dalam negeri. Permintaan CPO di pasar dunia dan dalam negeri rata-rata meningkat 8,25% dan 7,65% per tahun. Juga patut dicatat, perkembangan industri hilir agribisnis kelapa sawit Indonesia juga turut berkembang.

Hingga saat ini perkebunan kelapa sawit 72,8% berada di Pulau Sumatera, 23,7% di Kalimantan, dan 3,5% di Sulawesi serta Papua. Bila dilihat berdasarkan pola pengusahaan, perkebunan rakyat dan perkebunan negara masih dominan di Sumatera, sedangkan perkebunan swasta cukup banyak di Pulau Kalimantan.

Bagaimana peran kebijakan pemerintah dalam ekspansi perkebunan sawit Indonesia?

Perkebunan rakyat menunjukkan perkembangan yang sangat fenomenal, baik dalam perluasan areal maupun kontribusinya terhadap produksi CPO di Indonesia. Secara historis, ekspansi perkebunan kelapa sawit mulai menunjukkan laju pertumbuhan yang cepat setelah pemerintah memperkenalkan model PIR-Bun 1977—1993, diikuti PIR Trans 1986—1999, dan PIR KKPA (Kredit Koperasi Primer untuk Anggota) 1995—2000.

Hal itu menunjukkan, kebijakan pemerintah dengan memperkenalkan Pola PIR merupakan salah satu faktor mempercepat perkembangan luas areal kelapa sawit di Indonesia. Dan ini juga berdampak pada perkembangan perkebunan swasta yang pesat pada era 1990—1999. Sesuatu yang sangat fenomenal perkembangan perkebunan rakyat yang pesat rata-rata 34,9% per tahun, jauh melampaui rata-rata nasional sebesar 11,9% per tahun serta laju perkebunan swasta dan perkebunan negara.

Dengan proporsi luas perkebunan rakyat 46,32%, saat ini dan lajunya relatif tinggi, maka tidak berlebihan bila masa depan minyak sawit Indonesia ada di tangan mereka. Hal itu tentunya membutuhkan dukungan dan pengelolaan yang baik pada masa mendatang.  Dan  yang perlu dipikirkan dukungan pemerintah berupa kebijakan, program, dan peran fasilitator yang berpihak pada perkebunan rakyat.

Sementara itu harus dibangun kerjasama yang saling menguntungkan antara perkebunan rakyat dan perkebunan swasta. Jika perkebunan rakyat fokus pada on-farm agribusiness, maka perkebunan swasta berperan pada upstream agribusiness, downstream agribusiness, dan jasa penunjang agribisnis, khususnya industri pengolahan minyak sawit.

Untung Jaya

 

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain