Sebelas tahun karir sebagai seorang manajer di sebuah perusahaan asuransi dilepasnya demi mengembangkan usaha menjadi “tukang” dodol.
Penghasilan Yuliana sebagai manajer waktu itu mencapai Rp10 juta per bulan. Padahal usaha yang kemudian ditekuninya sebagai produsen dodol lidah buaya baru beromzet Rp3 juta—Rp4 juta per bulan. “Meskipun income-nya lebih kecil tapi saya yakin ke depan akan lebih besar dari yang saya dapat dari asuransi,” alasan Yuliana sewaktu berbincang dengan AGRINA di arena Pameran Produksi Indonesia 2009, Jakarta. Selain itu, usaha yang digelutinya sejak 2007 ini juga memberikan kepuasan batin tersendiri karena membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain dan bisa membantu petani lidah buaya.
Ternyata perkiraan ibu empat anak yang bermukim di Pontianak, Kalbar, tersebut tepat. Usahanya berkembang walau perlahan. Hal ini juga membuat Yuliana bimbang untuk memilih tetap bekerja di asuransi atau terjun total sebagai pembuat dodol. Akhirnya per April 2008, ia memutuskan untuk mengembangkan usaha dodolnya. “Kalau kerja di asuransi income yang saya dapat untuk saya sendiri, tapi kalau usaha dodol ini saya bisa bantu-bantu orang lain, dan mereka bisa bekerja,” imbuhnya.
Wanita yang tidak cepat berpuas diri ini pun semakin bersemangat untuk membuat kreasi lain produk makanan olahan berbahan baku lidah buaya, seperti minuman segar, teh celup, kerupuk, dan puding. Kebutuhan lidah buaya segar per minggunya terkerek naik, dari hanya 200 kg menjadi 1 ton.
Inspirasi dari Anak
Sebelum mengolah lidah buaya, Yuliana sudah memiliki usaha makanan lainnya, seperti donat kentang dan pisang goreng pontianak dengan bendera Rotiku Hidup. Bisnis kedua jenis makanannya ini berkembang pesat, bahkan ia mampu membuka delapan gerai di beberapa mal seantero Jakarta.
Pengembangan olahan lidah buaya itu sendiri berawal dari keprihatinnya melihat anak keduanya yang bernama Kien Chung sibuk membuat dodol dari lidah buaya. Ia mengaku sempat menangis melihat apa yang dilakukan Kien Chung karena anaknya itu disekolahkannya jauh-jauh ke Malaysia. Namun sekembalinya ke Pontianak malah cuma menjadi pembuat dodol. “Kenapa harus kuliah ke Malaysia kalau akhirnya harus menjadi pembuat dodol,” cerita Yuliana kala menasihati anaknya. Kein Chung yang tidak mau mengecewakan ibunya lalu berangkat mengadu nasib ke Jakarta menjadi karyawan sebuah perusahaan.
Sejak kepergian anaknya tersebut, Yuliana mulai berpikir, kenapa lulusan luar negeri mau mengolah lidah buaya jadi makanan. “Saya seringkali merenung dan pada akhirnya saya putuskan untuk melanjutkan apa yang sudah dilakukan anak saya,” katanya. Pemilik nama lain Liau Moi Cin ini mulai mencari literatur yang berhubungan dengan cara pengolahan makanan dari lidah buaya. “Saya baru sadar ternyata lidah buaya, selain bisa untuk membuat makanan lezat, juga bermanfaat bagi kesehatan,” sambungnya.
Berpeluang
Peluang bisnis pengembangan lidah buaya menjadi makanan ternyata cukup menjanjikan. Yuliana lalu membuat dodol lalu mengemasnya secara sederhana untuk dijual ke teman-teman di kantornya. Bahkan beberapa dodol ditawarkan ke toko-toko yang ada di Pontianak.
Istri Cu Dja Kong (60 th) itu juga berkeinginan agar dodolnya bisa dijual di pasar swalayan. Namun ia menghadapi kendala untuk bisa memasukkan produk makanan ke pasar swalayan, di antaranya nomor izin dari Depkes, label nama, dan kemasan. “Saya baru menyadarinya, dan saya harus mengurus segala izinnya,” katanya. Tidak lama berselang, hasil kreasi Yuliana pun diterima pihak pengelola pasar swalayan di Pontianak.
Beruntung kesulitan dalam pemasaran tersebut, wanita kelahiran 1 Februari 1949 ini mendapatkan perhatian dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Kalimantan Barat. “Saya mendapatkan wawasan tentang manajerial dan bantuan modal,” ungkapnya.
Semangatnya pun terlecut untuk membuat kreasi-kreasi baru aneka makanan terus bermunculan. Usaha Yuliana juga mendapat perhatian dari PT Pupuk Kaltim sehingga ia menjadi mitra binaannya. “Saya mendapat bantuan modal lagi dan saya gunakan untuk meningkatkan mutu dan memperluas tempat usaha,” lanjutnya dengan gembira. Apalagi, sebagai mitra, ia juga difasilitasi untuk ikut berbagai pameran produk usaha mikro, kecil, dan menegah yang diikutinya. “Berkahnya ada juga, saya kebanjiran order, bahkan sampai tidak bisa memenuhinya,” tuturnya.
Tidak mudah memang untuk meraih kesuksesan itu. Apalagi Yuliana hanya seorang wanita lulusan SD. “Saya hanya memiliki modal 3 K, yaitu kemauan, ketekunan dan keuletan. Modal ini membuat saya selalu belajar dan berkreasi,” imbuhnya.
Memperoleh Upakarti
Kreativitas Yuliana membuat aneka makanan berbahan baku lidah buaya membuahkan penghargaan Upakarti dari pemerintah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerahkan Upakarti untuk kategori pengrajin usaha kecil dan menengah moderen itu pada 7 Januari 2009. “Saya sangat bangga dengan Bapak Presiden karena mau memberikan penghargaan pada saya sebagai pengusaha kecil,” ucapnya.
Yuliana mengaku grogi ketika menerima penghargaan itu dari Presiden SBY. Perasaan grogi makin menjadi saat ia harus ikut acara ramah tamah. Lidahnya makin keluh ketika harus memperkenalkan dirinya di hadapan orang banyak di Istana Negara. Sempat kebingungan memulainya, ia pun akhirnya mampu bercerita tentang pembuatan dodol lidah buaya dan produk turunan lainnya. “Persitiwa ini tidak akan terlupakan dan mungkin menjadi sebuah cerita bagi anak cucu saya,” ujarnya mengakhiri perbincangan sore itu.
Tri Mardi Rasa