“Sebenarnya kita sudah mengalami tiga kali swasembada beras, yaitu pada 1984, 2004, dan 2008. Harapannya, kita terus swasembada sekaligus mempersiapkan diri menjadi eksportir beras,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA.
Apakah kita bisa swasembada beras secara berkelanjutan?
Bisa. Tapi kadang-kadang kita lengah dan tidak mau belajar dari masa lalu. Mari kita tinjau apa yang terjadi pada swasembada 1984, 2004, dan 2008. Pada 1984, swasembada beras dicapai dengan all out. Maksudnya, pembangunan waktu itu adalah pembangunan padi atau beras. Memang berhasil tapi sesudah 1984 kita melupakan kerja besar yang lalu, dan mulailah mengimpor beras yang volumenya semakin besar. Sampai pada 1998, saat krisis moneter dan keuangan, kita menjadi importir beras terbesar di dunia, mencapai 6 juta ton.
Salah satu tugas pemerintahan reformasi waktu itu adalah secara lambat laun mengurangi impor. Dan impor beras berhasil kita stop sama sekali pada 2004. Keberhasilan swasembada beras pada 2004 beda dengan 1984. Periode 2000—2004 adalah masa pemulihan dari krisis, dan pemerintah tidak punya uang tapi kita ingin swasembada beras. Dan kita mampu mewujudkannya pada 2004 dengan bujet Deptan sekitar Rp3 triliun.
Beda lagi dengan swasembada 2008, bukan hanya mahal buat konsumen tapi juga mahal buat pemerintah. Bujet Deptan 2008 sudah lebih dari Rp9 triliun dan subsidi pupuk Rp10 triliun. Angka-angka tersebut menunjukkan keseriusan pemerintah untuk mencapai swasembada beras, dan juga menunjukkan mahalnya biaya mencapai swasembada.
Bagaimana bisa mewujudkan swasembada 2004 dengan bujet yang kecil?
Yang paling penting kita mengetahui konteks, problema, kekuatan, kelemahan, dan apa peluang yang ada. Dari situ kita rumuskan paradigma, kebijakan, dan cara melaksanakan kebijakan itu. Kita mengubah paradigma dari pembangunan pertanian menjadi pembangunan agribisnis. Jika pada pembangunan pertanian yang memiliki program adalah pemerintah, sedangkan pada pembangunan agribisnis yang memiliki program adalah dunia usaha, sementara pemerintah hanya fasilitator. Jadi masa 2000—2004 pembangunan agribisnis itu dibiayai oleh dunia usaha, yaitu petani dan pengusaha.
Lalu dibuat kebijakan proteksi sekaligus promosi karena kita berprinsip, pembangunan pangan Indonesia adalah tanggungjawab kita, bukan tanggungjawab IMF atau Bank Dunia. Kebijakan proteksi membuat dunia usaha bergairah untuk berproduksi lebih tinggi sehingga produksi meningkat. Kebijakan promosi untuk peningkatan produktivitas dan kualitas melalui subsidi, kredit, dan perbaikan infrastruktur.
Bagaimana agar kita mampu berswasembada dan ekspor beras berkelanjutan?
Kita harus mengubah mindset (pola pikir) tidak hanya sekadar mencapai swasembada tapi swasembada beras yang berkelanjutan. Dan menjadi eksportir beras yang juga berkelanjutan. Untuk itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan.
Pertama, jangan hanya peningkatan produksi. Sekarang ini bila ingin swasembada, upayanya tingkatkan produksi melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Sedangkan biaya peningkatan produksi itu makin lama makin mahal. Bila dulu hanya lahan yang mahal, tapi sekarang air, pupuk, pestisida, benih, dan tenaga kerja pun mahal. Jika biaya produksi mahal, bagaimana kita mau mengekspor, kecuali jika mau mengekspor secara rugi. Jadi pendekatan hanya dari segi produksi saja tidak membuat kita aman.
Kedua, pendekatan dari segi permintaan. Konsumsi kita saat ini 139 kg per kapita per tahun, sama dengan konsumsi masyarakat Jepang 40 tahun lalu. Sekarang konsumsi mereka 60 kg per kapita per tahun, turun lebih dari 50%. Karena itu bujet untuk pangan tidak semuanya diberikan ke Deptan, tetapi juga kepada departemen lain yang terkait buat menurunkan konsumsi. Sehingga kita dapat berharap tingkat konsumsi yang 139 kg turun menjadi 60 kg secara lambat laun, paling tidak dalam tempo 25 tahun. Jadi pada 2035 kita tidak hanya swasembada tetapi sudah menjadi eksportir beras terkemuka di dunia.
Ketiga, reforma agraria. Dari sekarang harus dipikirkan bagaimana petani dapat memproduksi beras dengan cara yang lebih efisien. Tentunya perlu reforma agraria agar kepemilikan petani bukan hanya 0,25 ha. Di Thailand dan Vietnam, tiap keluarga petani itu mengusahakan 5 ha. Bagaimana petani kita yang hanya 0,25 ha bisa bersaing dengan petani yang mengelola 5 ha?
Keempat, reorganisasi usaha tani. Reorganisasi usaha tani bisa terjadi hanya apabila sebagian besar petani padi kita sudah pindah dari usaha tani padi, bahkan sudah keluar dari pertanian. Sehingga jumlah petani sedikit dan skala usaha mereka besar-besar. Dengan demikian, mungkin biaya produksi menjadi turun, dan pendapatan petani meningkat.
Kelima, buat perencanaan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang sampai 25 tahun. Dengan demikian pembangunan agribisnis dapat berkelanjutan. Tidak seperti sekarang ini kebijakan bergantu-ganti seiring dengan pergantian pejabat pembuat kebijakan.
Untung Jaya