Senin, 25 Mei 2009

Tatang Gozali Gandasasmita, Jatuh Cinta pada Ulat Sutera

Sejak kecil memang ingin mengembangkan pertanian. Bahkan saat diterima sebagai guru pun, ia lebih memilih menjadi pegawai perkebunan di PTP XII Bandung.

Alasannya, “Saya sudah suka dengan tanaman sejak masih muda. Karena itu saya tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bekerja di perkebunan,” begitu kata Drs. Tatang Gozali Gandasasmita saat berbincang dengan AGRINA. Saking cintanya pada dunia pertanian, ia berharap, setelah pensiun juga masih bisa beraktivitas di bidang yang disukainya ini.

Pada 1998, Tatang, demikian pria ini biasa disapa, pensiun dari PTPN XII dengan jabatan terakhir sebagai salah satu direksi. Namun harapannya mempunyai kegiatan di bidang pertanian baru terlaksana pada 2003 dengan beternak ulat sutera.

Awal-awal menjalani usahanya, Tatang menghadapi banyak kendala. Dengan semangat dan kegigihannya, kendala ini akhirnya dapat diatasi. Sayangnya, baru 6 bulan peternakan ulat suteranya berjalan, perusahaan pemintalan yang dipasoknya bangkrut. ”Saya bingung karena kokon siap dipanen dan harus segera diproses,” kenangnya pahit.

Kebingungan itu ternyata juga dialami petani lain yang menjadi pemasok kokon (kepompong ulat sutera) ke perusahaan tersebut. Mereka kemudian berhimpun untuk memecahkan masalah agar kokon yang menumpuk tidak busuk dan dapat terjual secepatnya.

Pucuk dicinta ulam tiba, seminggu kemudian seorang pengusaha dari Banyumas meneleponnya minta dipasok kokon. Tatang kemudian memberitahukan info berharga ini kepada peternak lain. ”Mereka sangat senang dan bersemangat lagi,” ujarnya. Peristiwa ini sungguh tak terlupakan karena saat itu ada sekitar 1,5 ton kokon yang harus dijual.

Serba Kebetulan

Khawatir peristiwa tersebut terulang, Tatang beserta 75 orang petani lain mengantisipasinya. Dengan modal sendiri, pria yang sekarang berusia 72 tahun ini berusaha membeli mesin pengering kokon. Ternyata keinginannya tidak terwujud lantaran ada seseorang yang mau menjual alat pintal. “Saya putuskan lebih baik beli mesin pintal sehingga kokon bisa langsung diproses tanpa pengeringan lagi,” terangnya.

Saking bersemangatnya, lelaki bersorot mata tajam ini berusaha memintal benang suteranya sendiri dan siap memasarkannya. Malang tak dapat ditolak, benang produksinya tak laku dengan alasan masih mentah sehingga tidak bisa dibuat kain. “Ternyata harus ada proses dengan cara dirangkap atau dipilin menjadi dua rangkap, tiga rangkap atau lebih,” tuturnya.

Beberapa minggu kemudian, ada orang yang menjual mesin pemilin benang dengan harga murah. Tatang pun memutuskan untuk membeli mesin itu. “Harga pasaran bekas saat itu Rp80 juta hingga Rp100 juta, tapi saya dapat harga 50 persennya,” ungkap bapak yang pensiun saat berusia 61 tahun ini. Jadi, pembelian mesin-mesinnya itu, “Semua serba kebetulan,” imbuhnya.

Kini, Tatang berharap, peternak lebih bergairah lagi mengembangkan usahanya dan tidak berhenti sampai pembesaran ulat sutera tapi harus mampu membuat atau menjualnya menjadi benang.

Untuk Pembinaan

Sekarang waktu ayah empat anak, Fia, Yanti, Luluh, dan Fiddoh, ini dihabiskannya untuk membina peternak ulat sutera mitranya. Memang tidak setiap hari, ia mendatangi mereka. Ia sudah mempercayakan kegiatan penyuluhan dan pembinaan untuk peternak kepada seseorang.

Bahkan tempat usaha kakek 10 cucu ini juga dijadikan sarana menimba ilmu bagi siapa saja yang mau belajar tentang ulat sutera. “Saya senang dengan orang yang mau melakukan penelitian di sini. Saya akan fasilitasi karena dengan ada mereka, saya juga bisa belajar,” cerita pemilik Rumah Sutera tersebut.

Rumah Sutera tersebut bukan melulu tempat peternakan ulat sutera, pemintalan benang sutera sampai penenunan kain sutera. Ia juga mengembangkan temapt ini sebagai obyek wisata pendidikan bagi anak-anak hingga orang dewasa tentang ulat sutera.

Tri Mardi Rasa

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain