Mulai dari soal distorsi harga di pasar domestik, larangan impor vanname, serta mendukung pemerintah agar lolos dari petisi antidumping Amerika Serikat dan larangan impor dari Eropa.
Petambak udang (vanname) boleh bergembira. Sekarang ini harga udang size 40 (40 ekor per kg) di tingkat petambak sekitar Rp50.000 per kg. Padahal, sebelumnya, sekitar Rp 34.000 per kg. “Sekarang ini tidak ada lagi distorsi (harga),” kata Iwan Sutanto, Ketua Umum Shrimp Club Indonesia (SCI), 21 April lalu, kepada AGRINA.
Memang, November lalu, alumnus Fakultas Perikanan, Universitas Brawijaya (Unibraw), Malang, ini berjuang keras mengenai harga udang. Maklumlah, diduga PT Central Proteinaprima (CP), yang udangnya untuk tujuan ekspor karena fasilitas produksinya berada di kawasan berikat, justru membanjiri pasar domestik. Akibatnya, harga udang di pasar domestik tertekan.
“Kalau dulu saya menjerit soal harga, bukan untuk saya, tetapi untuk anggota SCI, termasuk juga petani CP,” aku anak ketiga dari enam bersaudara ini. Mengapa? Sebab, harga udang petambak CP, mengacu kepada harga udang di Medan, Lampung, dan Surabaya. “Kalau harga kita tertekan, harga petani juga tertekan,” tambah Iwan.
Selain tidak ada lagi distorsi harga, tingginya harga udang sekarang juga karena nilai tukar dollar AS menguat dan permintaan udang dari negara adidaya itu tetap tinggi. Sementara itu, panen udang di China baru dimulai pertengahan tahun ini. Akibatnya, AS banyak membeli udang dari Indonesia. Itu sebabnya harganya membaik.
Yang Spektakuler
Prestasi lain dari SCI, menurut Iwan, memperjuangkan larangan impor udang vanname yang berlaku setiap enam bulan. “Kita melarang impor ini untuk melindungi petani,” kata pengusaha tambak udang ini ketika ditemui di kantornya di Tangerang, Banten. Sekarang ini, dua jenis penyakit udang yang bisa masuk melalui impor adalah taura syndrome virus (TSV) dan myo (infectious myonecrosis virus/IMNV).
Larangan impor tersebut sebagai antisipasi masuknya penyakit, meski di Indonesia kedua penyakit itu sudah ada. Iwan mencontohkan Australia. Negara ini memang tidak melarang impor udang, tetapi, “Kalau mau memasukkan udang ke sana, jangan harap bisa. Salah satu syaratnya, bebas penyakit white spot. Mana mungkin,” sergahnya.
Banyak tekanan dari para pedagang untuk menghapus larangan impor udang tersebut. Itu sebabnya pria kelahiran Tanjung Karang, Lampung, ini selalu berjuang setiap masa larangan impor hampir berakhir. Menurut Iwan, yang ditakuti adalah kalau udang impor itu dikemas ulang, lalu diekspor lagi ke Eropa atau AS. “Nama negara dan bangsa dipertaruhkan. Mereka mengharamkan udang impor diekspor lagi,” tegasnya.
Larangan impor yang berlaku setiap enam bulan itu sudah diperpanjang sebanyak enam kali. Pernah, sebelum krisis, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengungkap keinginannya untuk tidak memperpanjang lagi larangan impor itu. Namun kondisi sekarang lain. Apalagi pada saat krisis global ini semangat melindungi pasar domestik sangat tinggi. “Sekarang ini lagi semangat-semangatnya mengurangi impor. Mungkin lebih gampang (bernegosiasi tentang larangan impor ini),” lanjut Iwan.
Memang SCI bukan hanya memperjuangkan kepentingan anggotanya saja, tetapi juga industri udang nasional. Pada 2006, industri udang nasional mendapat tekanan dari AS soal antidumping dan larangan ekspor ke Eropa. “Kita gigih sekali,” ungkap Iwan yang sejak SMA bersekolah di Malang. Akhirnya Indonesia lolos dari petisi antidumping AS dan larangan impor dari Eropa. “Itu saya rasa spektakuler,” ujar anak ketiga pasangan Taslim Sutanto dan Lany Tanuwidjaya ini.
Waktu itu, peraturannya belum ada. Kemudian pemerintah membuat peraturan seperti soal keamanan lingkungan, pangan, dan sertifikasi tambak. Semua tambak mengikuti regulasi yang dibuat AS dan Eropa. Tim Food and Drug Administration (FDA) dari Amerika Serikat dan tim dari Eropa datang ke Indonesia. “Ketika mereka datang, tambak kita sudah bagus. Tidak mencemari lingkungan hidup. Memang belum semuanya. Yang paling penting terbukti dulu,” Iwan bercerita dengan bangga.
Signifikan
Perjalanan laki-laki kelahiran 13 September 1965 ini di bisnis udang cukup panjang. Setamat dari Unibraw, 1989, pemilik restoran EverFresh ini bekerja di Sidoarjo, Jatim. Lalu, pada 1995, suami Fransisca itu kembali ke Lampung dan menekuni bisnis udang. Untuk memperjuangkan kemajuan industri udang nasional, pada pertemuan World Aquaculture Society di Bali, ia mendeklarasikan berdirinya SCI, 9 Mei 2005.
Kalau kita lihat dari struktur industri udang nasional, kontribusi kelompok SCI, yang beranggota sekitar 400 orang ini terhadap produksi udang nasional cukup signifikan, sekitar 34% atau 112 ribu ton. Kontribusi perusahaan terpadu PT Central Proteinaprima (PT Wachjuni Mandira, PT Aruna Wijaya Sakti, dan PT Central Pertiwi Bahari) sekitar 100 ribu ton atau 30%. Sedangkan kontribusi petambak tradisional sekitar 120 ribu ton atau 36%.
Banyak hal yang dihadapi petambak anggota SCI maupun petambak tradisional di sekitarnya. Misalnya soal solar dan peraturan daerah yang kurang bersahabat. Iwan gigih membela para petambak udang. Apalagi, lebih dari seratus ribu orang yang terlibat dengan bisnis anggota SCI, baik langsung maupun tidak langsung, seperti para pedagang bakul udang. “Ini tanggung jawab moral saya kepada masyarakat,” katanya pada akhir perbincangan.
Syatrya Utama, Dadang W. Iriana
DATA PRIBADI Nama : Iwan Sutanto Lahir : Tanjung Karang, 13 September 1965 Istri : Fransica Jumlah anak : Tiga putri Pendidikan : Fakultas Perikanan, Universitas Brawijaya, Malang, 1989 Organisasi : Ketua Umum SCI (2005-2008) dan (2008- 2012)