“Agar swasembada beras berkelanjutan, tidak bisa hanya melalui pendekatan produksi. Perlu dilakukan pendekatan lain dan merumuskan solusi dasarnya,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000–2004, saat diwawancara AGRINA.
Mengapa pemenuhan pangan tidak cukup dilihat dari pendekatan produksi?
Selama ini para akademisi maupun para birokrat kita melihat soal pemenuhan pangan melulu melalui pendekatan produksi. Jika ada kekurangan pangan, usahanya adalah peningkatan produksi. Kalau kita melihat jauh ke depan, katakanlah 25 tahun yang akan datang pada 2035, menurut proyeksi para ahli kependudukan, sekalipun program keluarga berencana (KB) sukses, penduduk kita akan mencapai sekitar 350 juta jiwa.
Menjadi pertanyaan, jika pendekatan kita seperti pendekatan selama ini, yaitu pendekatan peningkatan produksi dengan keadaan sumberdaya alam yang sudah tidak bisa lagi dikembangkan dan aplikasi teknologi semakin terbatas, maka sangat sulit membayangkan pada 2035 kita akan mampu menyediakan pangan pokok seperti beras pada tingkat konsumsi per kapita seperti sekarang.
Dengan tingkat konsumsi per kapita seperti sekarang ini, 135 kg per kapita per tahun, pada 2035 kita membutuhkan sekitar 50 juta ton beras. Untuk menghasilkan 50 juta ton beras, kita membutuhkan sawah dengan produktivitas rata-rata 5 ton GKG per ha seluas sekitar 11 juta ha. Data menunjukkan, sekarang ini kita hanya mempunyai sekitar 6,5 juta ha sawah sehingga sangat sulit membayangkan bagaimana mendapatkan areal baru untuk mencapai 11 juta ha tadi. Jadi, masalahnya pertambahan permintaan lebih besar daripada kemampuan berproduksi.
Apa yang menghambat peningkatan produksi?
Pertambahan permintaan itu tidak bisa diatasi semata-mata dengan menggenjot produksi disebabkan oleh beberapa persoalan pokok. Pertama, penambahan areal sawah (ekstensifikasi) sangat sulit dilakukan. Kedua, selain terbatasnya lahan, suplai air juga semakin berkurang.
Masalah utama pada waktu lalu untuk peningkatan produksi adalah penyediaan lahan baru. Lahan telah menjadi faktor pembatas produksi yang nyata. Pada masa yang akan datang faktor pembatas produksi tersebut ditambah seretnya ketersediaan air. Usaha-usaha melalui penelitian dan manajemen untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan air menjadi sangat krusial pada masa yang akan datang. Apalagi dengan adanya kompetisi penggunaan air antara pertanian dan kegiatan nonpertanian.
Ketiga, sistem pertanian kita semakin gurem sehingga perlu ada reorganisasi pertanian supaya petani bisa bekerja pada skala usaha yang ekonomis untuk sebuah keluarga. Keempat, sulit meningkatkan produktivitas rata-rata karena produktivitas kita saat ini, sekitar 4,6 ton GKG per ha, sudah cukup tinggi dibandingkan negara-negara produsen beras dunia. Dan kelima, hambatan dari luar pertanian dengan adanya ancaman global warming. Bila tidak diantisipasi dari sekarang, akibat global warming pada masa yang akan datang bisa lebih parah, seperti kebanjiran, kekeringan, ledakan serangan hama dan penyakit.
Apa solusi pokok yang perlu kita lakukan?
Pertama, mengurangi konsumsi beras per kapita secara lambat laun sehingga pada tahun 2035 itu konsumsi per kapita kita bisa 60% dari sekarang. Karena itu konsumsi beras per kapita harus turun sekitar 2% per tahun, dan angka itu tidaklah berat. Agar konsumsi beras per kapita bisa turun, harus ada keberanian membiarkan harga beras relatif tinggi dibandingkan harga pangan pokok lain, seperti jagung, singkong, sagu, dan ubi.
Dengan kata lain, pengurangan konsumsi beras per kapita itu harus diiringi dengan diversifikasi ke produk nonberas. Hal ini berarti diperlukan inovasi-inovasi dalam proses pengolahan dan penyajian produk pangan nonberas tersebut agar lebih bergizi, lebih bergengsi, dan lebih murah dibandingkan beras. Telah lama kita membicarakan diversifikasi tapi selalu kandas oleh perasaan urgensi untuk peningkatan produksi beras. Barangkali beras sudah terlalu dipolitisasi.
Kedua, kendati pertambahan penduduk kita sudah menurun, tetapi dilihat dari nilai absolut pertambahan penduduk kita masih cukup besar. Karena itu usaha-usaha mengurangi pertambahan penduduk ini harus lebih digiatkan sampai kita mencapai pada tingkat pertambahan penduduk yang mendekati zero growth.
Dengan dua pendekatan ini, tekanan untuk peningkatan produktivitas rata-rata per ha dan produksi total menjadi lebih berkurang. Namun usaha-usaha untuk peningkatan produktivitas melalui penelitian dan aplikasi teknologi harus terus ditingkatkan. Harapan yang diberikan oleh penemuan-penemuan baru di bidang bioteknologi harus kita gunakan dengan prinsip kehati-hatian. Dan dari segi kelembagaan pemerintah, Dewan Ketahanan Pangan (DKP) perlu diperkuat dan diisi oleh Menteri Pertanian senior sehingga mampu bertindak sebagai koordinator terhadap departemen lain yang terkait urusan pangan.
Untung Jaya