Kesuksesan masa lalu tak harus cuma dikenang. Tak ada salahnya bila diwujudkan kembali.
Sejarah kawasan Sungai Kumbe (sekarang Distrik Kurik) yang pernah menjadi penyuplai beras bagi tentara Sekutu di kawasan Pasifik sungguh menarik bagi Ir. Omah Laduani Ladamay, M.Si. Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Merauke ini terilhami untuk mengembalikan kejayaan daerahnya kembali sebagai penghasil beras.
Untuk itu, bersama sang Bupati, Johanes Gluba Gebze, Laduani pun membangun sinergi. Jika di Jawa ada istilah lumbung pangan nasional, maka di Merauke ada istilah lumbung pangan dunia. Memang tidak berarti kebutuhan pangan seluruh dunia disuplai dari Merauke tapi minimal negara-negara sekitarnya saja. “Saya maunya Merauke menjadi lumbung pangan dunia, dan kalau bisa mereka bisa membeli bahan pangan yah dari kita,” ucap mantan Kepala Bappeda Kab. Mimika ini kepada AGRINA.
Lebih jauh soal mimpi indah tersebut, bapak kelahiran Buton, 20 Agustus 1965 ini beralasan, pondasi menjadikan lumbung pangan dunia, sudah ada. Tinggal, keseriusan pemerintah pusat dan daerah dalam mengelola potensi yang ada ini.
Mengangkat Harkat dan Martabat Petani
Saat diangkat menjadi Kadinas Pertanian Tanaman Pangan, Laduani segera menggebrak dengan menanamkan disiplin di kalangan jajarannya. Setelah makan waktu beberapa bulan, para stafnya pun bersedia mengikuti langkahnya untuk bekerja keras.
Program pertama alumnus Fakultas Pertanian IPB Jurusan Tanah 1989 ini adalah mengunjungi masyarakat lokal dan mengajak mereka untuk membangun daerahnya. Hal itu terkait dengan anggapan selama ini bahwa masyarakat lokal itu malas dan tidak mau bekerja. Padahal, pemegang gelar Master dari Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik UI 1986 ini berpendapat, masyarakat lokal bisa bekerja dan giat bekerja jika diberdayakan. Namun untuk memberdayakan masyarakat agar mau bertani dan memanfaatkan lahannya, perlu biaya besar.
Demi memberdayakan masyarakat di seluruh wilayah tugasnya, Laduani harus meyakinkan Irjen agar bisa menggunakan dana APBN untuk pemberdayaan masyarakat. “Saya bilang, kalau saya masuk bui berarti akibat saya tidak bekerja, dan saya malu, apalagi kalau uang tersebut saya gunakan untuk (kepentingan) pribadi. Dan saya mau juga masuk bui kalau gagal berdayakan mereka,” ujarnya bersemangat. Karena itulah ia tetap berupaya memberdayakan masyarakat meskipun tanpa ada dukungan dari APBD dan APBN.
Jerih payahnya terbayar. Kampung-kampung yang dihuni masyarakat lokal bisa hidup. Perekonomiannya berjalan melalui pertanian karena mereka dapat menanam dan memproduksi tanaman dengan pola yang lebih baik dari sebelumnya. “Dulu mereka tunggu raskin, sekarang mereka sudah tidak butuh raskin. Dulu BLT (bantuan langsung tunai), sekarang mereka tidak butuh lagi,” katanya bangga.
Hasil yang menggembirakan ini melecut semangat Laduani untuk mengampanyekan kepada masyarakat agar tidak bergantung pada BLT dan Raskin. Begini caranya berkampanye, “Kalau you terima BLT, sama dengan you tidak punya harga diri, karena you tidak kerja, you terima uang. Siapa yang ajari kalian, kitab suci injil pun tidak. Orang tidak bekerja, tidak berkeringat, kok mendapatkan makan.”
Laduani pun kemudian membeberkan kiatnya memotivasi masyarakat lokal dan anak buahnya. “You mau sukses, gampang saja, manfaatkan waktu. Just do it dan kerjakan yang sekarang ini konkret. Jangan omong dengan rencana-rencana karena itu omong kosong. You buat hari ini konkret dan buat perubahan untuk yang akan datang,” tandasnya. Motivasi ini sangat penting agar mereka mau bangkit dan bekerja. Kalau mereka sudah bergerak, pemerintah tinggal membuat kebijakan yang fokus dan memberikan insentif.
Ajarkan Yang Benar
Tak hanya sebagai Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Merauke, Laduani juga menjadi petani. “Saya harus lakukan itu untuk memberikan contoh pada masyarakat, petani itu profesi yang juga mulia,” ia beralasan. Memang ia tidak terjun langsung seperti petani lainnya yang mencangkul dan menggarap tanah sendiri. “Saya hanya mengontrol saja, memotivasi, dan memberitahukan mana yang harus dilakukan dan yang tidak boleh,” jelas suami Hj. Nurhasanah ini.
Dulu masyarakat lokal hanya tahu disuruh dan menanam saja tanpa punya pengetahuan mengolah tanah yang baik, menebar benih, memberi pupuk, dan sebagainya. Bahkan seringkali mereka menghambur-hamburkan benih, pupuk, dan obat-obatan. Laduani lalu mengajari mereka cara bercocok tanam yang baik. Sekarang, produksi petani sudah lebih baik dari sebelumnya.
Selain itu, ayah dari Aliyah Zahrah (9) Dalilah Nur Azizah (6) ini juga mengajak para petani mengolah hasil panen dan memperbaiki pemasarannya agar bernilai tambah. “Ke depan, pokoknya semua harus bernilai tambah dan itu harus selalu kita buat,” tegas penyuka ikan bakar ini. Sebagai contoh, limbah pertanian yang dulu dibiarkan teronggok kemudian dibakar, kini diolah menjadi pupuk organik dengan teknologi sederhana. Jadi, imbuhnya, pemberdayaan harus dilakukan secara menyeluruh.
Dalam rangka membangun jiwa kewirausahaan, Laduani selalu mengajarkan kepada seluruh jajaran Dinas Pertanian dan petani binaannya untuk bisa hidup dari bertani dan menjadi seorang bos di usaha taninya. Ia pun membuat program petani kaya. Idenya diambil dari sebuat tulisan temannya yang juga menjadi investor di Merauke. “Petani itu harus kaya karena kaya itu mulia. Ini maaf saja, petani kita dalam acara-acara pemerintah atau di kampung tidak ada yang disuruh duduk di depan. Mereka itu duduk pinggiran semuanya,” tuturnya prihatin. Ia pun bertekad, hal itu tak boleh terjadi lagi dan petani harus bangga terhadap profesinya.
Tri Mardi Rasa