Status negara bebas penyakit mulut dan kuku (PMK) atau tidak bebas , itu memang pilihan. Namun membuka pintu bagi virus PMK terlalu mengundang risiko bagi peternakan lokal.
Berbincang tentang perubahan ketentuan pemasukan hewan dan produk hewan dari sistem dari country base ke zone base, menurut pendapat Teguh Boediyana, tidak ada nilai positifnya bagi Indonesia. Karena itu ia menggalang para pemangku kepentingan peternakan yang sependapat dengannya membentuk Forum Penyelamat Negara dari PMK (FPN-PMK). Penentangan Teguh dan kawan-kawan sudah sampai ke DPR RI yang meminta pemerintah mengkaji ulang keputusannya mengubah sistem tersebut.
Pejabat Mestinya Bergeming
Perjuangan Sekjen Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) ini sebenarnya telah dilakukan sejak dirinya masih bekerja sebagai Kepala Biro Humas, Depkop, zamannya Adi Sasono menjadi Menteri Koperasi. Kala itu, penentangannya berkaitan dengan pemasukan daging sapi dari India yang juga tidak bebas PMK. Posisinya berhadapan dengan sang bos yang ingin daging murah itu masuk sehingga ia dicopot dari jabatannya.
Namun pria alumnus Arizona State University ini tidak menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang harus dianggap serius. “Bagi saya, itu hak pimpinan saya, dan dia bisa pakai seribu alasan, dan bukan karena saya hantam dengan pemasukan daging dari India,” tandasnya. Pada waktu itu, ia tidak protes dan setelah pencopotan jabatan itu pun masih berangkulan dengan sang menteri. “Bicara pribadi, he is my friend. Bicara posisi, he is the boss yang punya aturan main. Dan sampai hari ini kalau ketemu, yah masih ha ha hi hi,” kenangnya sambil tersenyum.
Sepanjang ingatan pria kelahiran Purwokerto 7 Mei 1951 ini, upaya pemasukan daging sapi dari negara yang tidak bebas PMK memang sudah berlangsung lama. Itu dilakukan pengusaha swasta dengan berbagai lobi kepada para pemegang jabatan publik. Pria yang juga menjabat Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo) ini tidak mau menyalahkan pihak swasta yang berhasil melobi pemerintah untuk bisa menggolkan tujuannya tersebut. “Orang swasta melobi itu sah-sah saja. Yang kembali adalah para pemimpin yang diformalkan dengan jabatan itu dan mendapatkan amanah seharusnya mampu berpikir lebih broad spectrum, harus melihat dari semua sisi. Seharusnya pejabat pemerintah mengatakan, ‘Aku tidak bergeming karena begini.’ Itu yang kita butuhkan,” tegasnya.
Memang bicara dengan Teguh soal buka pintu bagi negara tak bebas PMK bisa makan waktu lama. Berbagai dalih yang dikemukakan pemerintah (Deptan) untuk membuka pintu impor itu sungguh membingungkannya. Ayah dua putri, Rarassmita Nestiti dan Cinita Nestiti, ini memisalkan ada 60 negara yang bebas PMK, artinya 60 negara ini punya peluang masuk ke Indonesia. Kalau pun saat ini hanya ada 4 negara saja yang masuk, itu bukan berarti monopoli. “Ini soal bisnis biasa. Kalau ada negara lain yang bebas dan harganya kompetitif, maka bisa masuk,” katanya masih bersemangat.
Swasembada Mestinya Jadi Obsesi
Kekhawatiran Teguh akan masuknya virus PMK kembali ke Indonesia bertolak dari kondisi peternakan kita. Kalau di Brasil yang populasinya 200 juta ekor lebih, kehilangan 1.000—2.000 ekor mungkin tidak terasa. “Tapi kalau di Indonesia, seorang peternak yang punya dua ekor, sapinya mati, nangisnya nggak ketulungan. Padahal umumnya sapi (di sini) dimiliki dalam jumlah kecil dan merupakan harta yang paling berharga bagi mereka. Ternak bagi masyarakat di desa memiliki nilai yang luar biasa sebagai tabungan,” tuturnya bernada prihatin.
Jadi, Teguh berpendapat, semestinya menteri pertanian yang punya otoritas dalam hal ini melindungi peternak di dalam negeri. Program Swasembada Daging Sapi juga tidak perlu diekpresikan karena nantinya seperti jargon. Anak pasangan Maksum Hardjoprajitno dan Siti Djamilah ini melihat, “Sebaiknya pemerintah menempatkan swasembada sebagai suatu obsesi. Itu on the right track.” Namun ia buru-buru menambahkan, program itu harus dicapai dengan langkah konkret dan realistis.
Untuk bisa berswasembada, suami Amalia Hedina ini mengatakan, tumpuan utamanya adalah memanfaatkan sumber bibit yang potensial di dalam negeri. Selain lebih murah juga keberadaannya sudah pasti. Sumber yang dimaksudnya adalah sapi betina yang disiapkan peternak.
Selain itu mencegah adanya pemotongan sapi-sapi betina produktif yang angkanya, menurut dirjen peternakan, mencapai sekitar 200 ribu ekor per tahun. “Ini adalah potensi besar dan pasti kalau kita bisa menyelamatkan sapi betina tersebut,“ tandas pengagum Soekarno ini.
Penyelamatan betina produktif dari para jagal tersebut dalam lima tahun akan menambah populasi sekitar 1 juta ekor. Asumsinya, 200 ribu ekor yang terselamatkan berpeluang menghasilkan sekitar 800 ribu ekor. Sebab sapi-sapi ini bisa beranak 4—5 kali. “Itulah yang harus kita pikirkan,” cetus pria yang senang membaca buku tentang politik dan tatanegara. Mekanisme penyelamatannya, lanjut Teguh, melalui badan layanan umum (BLU) yang dikelola secara profsional.
Memang ada risikonya, yaitu kekurangan pasokan daging yang selama ini didapatkan dari sapi betina produktif tersebut. Harus ada impor sebagai kompensasi untuk menambal kebutuhan daging. “Impor sifatnya harus darurat, tapi ada syaratnya, yaitu jangan dari negara yang belum bebas PMK. Kalau sampai Indonesia yang sudah capek-capek mengembangkan populasi, lalu PMK masuk, maka capek-capek ini menjadi sia-sia lagi,” terang Teguh sedikit kesal.
Wajar bila sampai sekarang Teguh lebih cenderung melihat country base lebih aman ketimbang zone base. Apalagi berdasarkan rekomendasi Tim Analisis Risiko Independen (TARI), Indonesia harus membenahi berbagai hal menghadapi kemungkinan masuknya kembali virus PMK seiring pembukaan pintu, “Selamat Datang Daging Sapi dari Negara Tidak Bebas PMK”.
Tri Mardi Rasa