“Jika terjadi konflik lahan antara perkebunan dan pertambangan, perlu diperhatikan prinsip-prinsip first entry, perhitungan yang jujur secara ekonomi dan finansial, negosiasi yang saling menguntungkan dengan arbitrasi dari kepentingan yang berbeda,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000–2004, saat diwawancarai AGRINA.
Apa penyebab munculnya konflik antara perkebunan dan pertambangan?
Indonesia membutuhkan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi, terutama sekarang ini berbasis pada sumberdaya alam, seperti perkebunan dan pertambangan. Kedua bidang kegiatan ini sama-sama berbasis pada lahan. Oleh karena itu, sering terjadi di lahan yang sama bisa digunakan untuk lahan perkebunan yang menghasilkan nilai ekonomi, tapi pada lahan tersebut juga terdapat deposit tambang, seperti batubara dan minyak.
Jika tambang duluan yang mengambil inisiatif, maka tidak ada masalah. Tapi kalau perkebunan yang duluan memulai dan belakangan pertambangan ingin masuk, atau ketahuan ada deposit di situ dan ingin ditambang, baru terjadi konflik. Justru kasus seperti ini yang banyak terjadi. Perkebunan sudah mulai bahkan sudah menghasilkan dan sudah ada proses sampai pada HGU, kemudian diketahui ada deposit kemudian datanglah usaha pertambangan. Dan biasanya pemerintah daerah memberi izin kepada pihak pertambangan. Sehingga terjadilah konflik.
Konflik penggunaan lahan antara perkebunan dan pertambangan telah timbul sejak lama. Menurut data Dirjen Perkebunan pada 2008 terdapat ratusan laporan mengenai gangguan dalam bisnis perkebunan di Indonesia. Dari data tersebut sebagian besar berhubungan dengan penggunaan lahan. Masalah ini membutuhkan perhatian dari pihak terkait. Membiarkan konflik penggunaan lahan terus berlangsung mungkin tidak hanya berdampak negatif terhadap industri perkebunan Indonesia dan seluruh iklim investasi, tetapi juga menyebabkan timbulnya banyak konflik dan kesengsaraan yang sangat mempengaruhi masyarakat lokal.
Apa akar permasalahannya?
Akar permasalahannya bersumber dari interpretasi dalam UU Pertambangan 1967, bahwa jika ada konflik lahan maka pertambangan didahulukan. Dan kita tidak tahu mengapa UU itu bisa disetujui pada masa itu. Hal itu membuat seolah-olah UU tersebut merupakan UU Departemen Pertambangan, bukan UU Republik Indonesia. Mungkin pada waktu itu tergantung kepada siapa yang mengusulkan UU, maka kepentingan dia yang diprioritaskan di dalam UU itu, bukan kepentingan masyarakat yang lebih luas yang didahulukan.
Dan pada 2000 keputusan Menteri Pertambangan menempatkan pemerintah daerah sebagai pengambil keputusan jika terjadi tumpang tindih kepentingan tersebut. Hal itu mengizinkan pemerintah setempat untuk mengambil-alih hak kepemilikan dan membuka jalan untuk pertambangan jika nilai cocok. Dan hal itu sering dimanfaatkan oleh pemerintah daerah untuk memperoleh sumber pendapatan baru.
Bagaimana solusinya bila konflik itu terjadi?
Bila ada konflik lahan seperti itu harus dirumuskan prinsip-prinsip penyelesaiannya. Yang paling penting adalah prinsip siapa yang lebih dulu (first entry) di lokasi tersebut. Karena itu adalah hak yang telah diberikan oleh pemerintah dan tidak bisa dicabut begitu saja. Bila pencabutan hak itu terjadi tanpa prosedur yang benar dan komplet, maka akan meruntuhkan wibawa pemerintah sendiri dan bisa menimbulkan konflik sosial dan kerugian ekonomi yang besar.
Dari segi kepentingan nasional, pada prinsipnya lahan itu harus digunakan untuk kegiatan yang menghasilkan nilai tambah yang paling besar dalam jangka pendek dan panjang. Dan dalam nilai tambah ini juga sudah diperhitungkan mengenai biaya perbaikan lingkungan yang terjadi baik dalam jangka pendek maupun panjang. Di samping itu, harus diperhatikan juga kesempatan ekonomi, penyediaan lapangan kerja, dan usaha untuk masyarakat setempat. Hal itu menyangkut pemerataan kesempatan kerja dan berusaha bagi seluruh masyarakat. Oleh karena itu, harus dilakukan kalkulasi komprehensif dari sisi ekonomi, finansial, dan sosial.
Perlu ada prinsip negosiasi antara pihak perkebunan dan pertambangan yang bersengketa. Jika suatu pertambangan mau menggunakan lahan perkebunan, maka pihaknya harus mampu memberikan kompensasi nilai atas hak perkebunan. Dan dasar kompensasi bukanlah harga pasar yang berlaku saja tapi berdasarkan prinsip win-win solution. Sebab dalam konflik lahan biasanya yang terjadi adalah konflik antara satu pihak pembeli dan satu pihak penjual. Dalam keadaan seperti itu tidak ada harga ekuilibrium, harga hanya berdasarkan negosiasi. Memang di sini peran arbitrasi menjadi sangat penting.
Dan solusi terakhir, UU Pertambangan yang bias itu perlu ditinjau kembali dan direvisi. Agar UU ini tidak dijadikan alat oleh pemerintah daerah untuk menjustifikasi keputusannya yang memihak sektor pertambangan. Sebab proses pembuatan UU itu sendiri pada masa lalu barangkali ada yang tidak tuntas karena digolkan oleh sektor-sektor tertentu tanpa disadari implikasinya pada sektor lain. Dan saat itu sektor yang lain tidak memberikan masukan karena belum atau tidak menyadari implikasinya.
Untung Jaya