Cita-cita kami adalah menjadi lumbung pangan dunia
Begitu harga mati yang diusung Johanes Gluba Gebze, Bupati Merauke dalam membangun wilayahnya. Dalam batinnya terpatri gelora membangun pertanian, khususnya bumi Merauke. “Tuhan telah menganugerahi alam dan tanah subur, kenapa tak dikelola? Andai tidak ada pertanian, mana bisa kita makan nasi dan minum kopi,” ujarnya. Itu pula mengapa tiap kali dilontarkan pertanyaan menyangkut visi-misi membangun Merauke, jawabnya hanya agropolitan, agrowisata, dan agroindustri.
Mengapa memilih sektor pertanian? Johanes mempunyai alasan sederhana, Tuhan menciptakan perut, berarti pertanian menjadi sesuatu yang krusial. Soalnya, yang bisa mengisi perut hanyalah hasil pertanian. Ia pun melihat, setiap negara pasti memiliki departemen pertanian, itu pertanda sektor ini perlu mendapat perhatian spesial. Berarti pula bidang ini menawarkan peluang besar untuk dikembangkan.
Lebih jauh, Johanes memandang pertanian adalah roh stabilitas nasional. Dari sudut pandangnya, sebuah bangsa apabila rakyatnya lapar, pasti tidak akan maju, dan pemerintahannya tak stabil. “Di mana pertanian tidak maju, di situ tumbuh subur kejahatan dan kekacauan. Mencuri dan merampok, alasannya hanya satu, perut. Makanan bukan ditaruh di otak, tapi otak tak akan cerdas kalau tidak ada makanan,” ungkap Master Administrasi Publik ini.
Mengubah
Membangun Merauke sebagai salah satu lumbung pangan bukanlah pekerjaan mudah. Lelaki asli Merauke ini memutar otak, bagaimana membangun dengan apa yang bisa dikerjakan masyarakatnya.
Langkah awal Johanes, berusaha mengubah kebiasaan penduduk. Dari yang hanya memanen hasil dari alam, berbalik menjadi produsen pangan. Ia tak mau berkhianat kepada sejarah yang pernah mencatat, pada 1930-an Merauke pernah mengekspor beras untuk memasok kebutuhan tentara sekutu di Pasifik.
Celotehnya bukan isapan jempol, kerja kerasnya berbuah manis. Akhirnya, pertanian kembali menjadi taji wilayah paling timur Indonesia itu. “Yang kita perlukan hanya kemauan, motivasi, bukti nyata, dan inovasi. Memang hal yang paling sulit adalah mencoba dan memulai sesuatu. Tapi kita harus berani,” tutur jebolan Institut Ilmu Pemerintahan 1989 ini.
Mau bukti? Meski baru menggarap 26.000 hektar (ha) dari potensi lahan seluas 2,5 juta ha, di tangannya berbagai tanaman pangan tumbuh subur di sana. Mulai dari padi, jagung, kedelai, sorgum, hingga umbi-umbian. Malahan panenan padinya cukup dibilang spektakuler, mencapai 8—12 ton per ha.
Tak dinyana, negeri suku Marind itu mampu menanam kol, yang notabene sayuran dataran tinggi. “Teori itu gugur di Merauke dengan bukti kami dapat menanam kol di dataran rendah, bahkan bisa ada bunga,” ungkap alumnus Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) 1986 tersebut. Inilah awal kembalinya kejayaan pertanian di ranah yang terkenal dengan Tugu Pepera-nya itu.
Menyoal langkah pertanian nasional, Johanes berpendapat, ada baiknya dibuat peta keunggulan komperatif wilayah. Peta tersebutlah yang akan menjadi instrumen keluarnya kebijakan khusus keunggulan kompetitif bangsa karena Indonesia menyimpan begitu banyak keunggulan komparatif. “Saya pikir dengan mengelola itu, bangsa ini akan cepat melejit menjadi bangsa yang maju,” cetusnya.
Cinta dan Miris
Kecintaannya pada dunia pertanian terlihat dari kebiasaannya membawa mobil bak terbuka. Saat melintasi persawahan, ia mengajak petani yang berjalan kaki menumpang di mobilnya. Tidak cukup sampai di situ, Ketua DPD Partai Golkar ini juga memiliki sebuah nomor telepon khusus yang diketahui masyarakat. Pesan pendek sering dibacanya sendiri dan dengan sabar membalasnya.
Namun, ia sedikit prihatin dengan anggapan pertanian adalah profesi hina dan rendahan. Tidak sedikit generasi muda menjauh dari bidang yang bersentuhan langsung dengan tanah itu. “Harus ada cara agar sektor ini tidak dianggap sebelah mata dan lebih diminati,” terang Ketua Umum Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia ini.
Salah satu langkahnya dengan menerapkan sistem mekanisasi dalam budidaya, seperti halnya petani di negara Paman Sam atau Eropa. Dari sudut pandangnya, hal itu bisa menaikkan gengsi bidang pertanian lantaran sebagian orang masih beranggapan mesin adalah uang. “Jadi kalau pakai mesin, orang pikir pasti duitnya banyak,” ujarnya.
Pohon Pisang dan Kelapa
Dalam kehidupan keseharian, Johanes selalu berpegang teguh pada filosofi pohon kelapa dan pisang. Sekali tanam pohon kelapa bisa berbuah sepanjang masa tanpa mengenal musim. Batangnya pun kokoh meski diterpa angin laut. Selain itu, hampir seluruh bagian pohon kelapa bisa dimanfaatkan. Artinya, “Dalam kehidupan, kita mesti saling mengingatkan yang berbuah kebaikan. Harus tegar menghadapi cobaan dan pantang menyerah,” tutur bijak.
Sedangkan pohon pisang mengajarkan regenerasi: setelah berbuah, langsung gugur. Maksudnya, jangan pernah ada kedudukan abadi. Beri kesempatan dan kepercayaan kepada kaum muda untuk belajar dan maju. Sebab, pemuda adalah tulang punggung pembangunan masa depan. “Kalau sudah tua ya mundurlah, silahkan yang muda tumbuh dan maju. Prinsip itu sangat baik diterapkan dalam manajemen usaha dan keteladanan bagi Pemda dalam mengambil langkah,” ungkapnya.
Johanes tak pernah kendur membakar semangat rakyatnya. Salah satunya dengan slogan “16 terus menerus”, “5 aman” dan “6 buka”. Ia menjabarkan satu persatu. Arti “16 terus menerus” adalah terus menerus: berpikir, bekerja, mengolah tanah, menanam, memelihara, berbuah, petik, jual, pendapatan, sejahtera, dan puas terus menerus.
Untuk “5 aman,” maksudnya, aman: perut, hati, pikiran, mulut, dan tangan rakyat. Lalu buka pikiran untuk memikirkan masyarakat dan kebangsaan. Buka mata guna melihat keberadaan bangsa ini, buka telinga mendengarkan keluh-kesah masyarakat. Buka mulut guna mendiskusikan apa yang dialami masyarakat. Lalu, buka hati memberikan kasih sayang. Terakhir, buka tangan guna merangkul atau melayani.
“Doa saya selama ini kepada Tuhan. Saya tidak minta kulit saya menjadi putih, itu tidak ada guna. Saya juga tidak minta rambut saya diluruskan. Saya selalu memohon, sebelum mati berikan kesempatan kepada saya untuk berbuat karya nyata. Saya tidak mau mati dalam kesia-siaan, saya ingin mati dalam sebuah keharuman dengan karya nyata,” ia menutup perbincangan panjang dengan AGRINA.
Selamet Riyanto, Dadang WI, Untung Jaya