“Saya sangat beruntung karena memperoleh pendidikan, melaksanakan penelitian, dan mengajar agribisnis selama 30 tahun. Dan kemudian berkesempatan membuat kebijakan agribisnis saat menjadi menteri,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA.
Bagaimana langkah-langkah membuat sebuah kebijakan?
Bicara mengenai kebijakan, kita harus bicara dulu tentang konteks di mana kebijakan itu dirumuskan. Soal ini yang sering salah kaprah. Kalau konteksnya tidak dimengerti, maka kebijakan yang dibuat menjadi amburadul. Jika sudah dimengerti konteksnya, kita bisa masuk ke paradigmanya. Kebijakan tanpa paradigma, itu bukan kebijakan melainkan hanya reaksi. Jadi, urutannya konteks, paradigma, baru kebijakan.
Bagaimana konteks pada masa 2000 - 2004?
Tahun 2000 adalah puncaknya krisis moneter dan keuangan di negeri kita yang dimulai sejak 1998. Pertumbuhan ekonomi masih rendah, inflasi masih tinggi, nilai tukar rupiah anjlok, dan impor pangan luar biasa besar, seperti impor beras sampai 6,2 juta ton. Selain itu, kita tidak memiliki cukup dana. Semuanya serba utang. Bujet pemerintah kecil karena sebagian besar untuk membayar utang. Kemudian ada masalah konflik sosial di Maluku, Sulawesi Tengah, dan Aceh. Itulah beberapa hal yang menjadi ramuan konteks.
Dalam keadaan krisis seperti itu, pemerintah kita minta bantuan kepada IMF. Keluarlah berbagai kesepakatan dengan IMF yang banyak merugikan agribisnis kita, salah satunya membuka impor produk pertanian seluas-luasnya dan tidak boleh bikin tarif.
Bank Dunia pun ikut-ikutan mengatur kita seperti yang diperbuat IMF itu. Jadi, kita berada dalam krisis pada segala bidang, intervensi dunia luar dalam banyak kebijakan, dan suasana perdagangan internasional melalui WTO yang tidak adil telah kita ratifikasi sejak Orde Baru.
Dalam konteks tersebut, kita menciptakan paradigma. Paradigma baru untuk dunia pertanian saat itu adalah membangun sistem dan usaha agribisnis. Apa bedanya dengan membangun pertanian? Membangun pertanian adalah membangun dengan cara a way of life. Dan pelopornya adalah pemerintah. Sedangkan membangun agribisnis adalah membangun sistem bisnis berbasis pertanian.
Paradigma baru tersebut membuat pertanian tidak dapat dipisahkan lagi dari hulu, hilir, dan jasa penunjangnya. Pertanian tidak independen lagi, tapi terkait dengan produsen benih, pupuk, pestisida, pasar, penelitian, perbankan, dan agroindustri. Dan pelopor pembangunan agribisnis adalah dunia usaha, dari petani, usaha mikro, menengah, besar, sampai koperasi.
Jadi sistem agribisnis adalah gabungan antara pertanian, hulu, hilir, dan jasa penunjangnya yang terkait satu sama lain. Bahkan sekarang ini hulu, hilir, dan jasa penunjangnya yang kita sebut off-farm lebih penting dibandingkan on-farm. Peran pertanian pada PDB dulu sebesar 50% tapi sekarang tinggal 15%, dengan demikian peran pertanian menjadi relatif tidak penting. Tapi jika ditambah off-farm-nya sehingga menjadi sistem agribisnis, maka peran mencapai 50%. Sama dengan di AS, peran pertaniannya hanya 2%, tetapi sistem agribisnisnya mencapai 30% dari PDB mereka.
Kalau begitu kebijakan pertanian saja tidak cukup?
Kebijakan agribisnis harus meliputi soal perdagangan, industri, keuangan, dan lainnya. Yang ada sekarang, masing-masing sektor membuat kebijakan sendiri-sendiri sehingga itu bukan kebijakan agribisnis. Itu hanya kebijakan-kebijakan di dalam sistem agribisnis. Kebijakan agribisnis dibuat dengan melihat semua sektor yang terkait menjadi satu kesatuan.
Kebijakan sistem agribisnis tidak hanya menjadi tanggung jawab Menteri Pertanian, Menteri Kelautan dan Perikanan, serta Menteri Kehutanan. Tetapi tanggung jawab gabungan Menteri-menteri tersebut bersama Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian, Menteri Keuangan, dan menteri lainnya. Dan mereka secara bersama-sama merumuskan kebijakan yang terintegrasi sehingga menghasilkan kebijakan agribisnis.
Bagaimana kebijakan yang diterapkan pada masa 2000 – 2004?
Dengan paradigma baru membangun sistem dan usaha agribisnis, kita buat tujuan pembangunan sistem agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan, dan dilaksanakan secara desentralistis. Dan dari situ dibuat kebijakan proteksi dan promosi. Agribisnis kita tidak bisa dibangun kalau tidak dipoteksi. Tapi kita tidak mau hanya proteksi saja karena menuntut semakin tinggi proteksinya. Karena itu kita proteksi sekaligus melakukan promosi dengan upaya peningkatan daya saing. Proteksi akan dilaksanakan sampai orang lain tidak memproteksi agribisnisnya lagi, dan agribisnis kita telah mempunyai daya saing yang cukup.
Selanjutnya, harus ada organisasi untuk mewujudkan tekad tersebut karena dengan Deptan saja tidak cukup sehingga dibentuk Dewan Ketahanan Pangan (DKP). DKP diketuai Presiden dan Menteri Pertanian sebagai Ketua Harian. Dengan kewenangan tersebut Menteri Pertanian mudah berkoordinasi dengan Departemen Perdagangan dan Perindustrian, Departemen Keuangan, dan departemen lainnya untuk mewujudkan kebijakan sistem agribisnis.
Untung Jaya