Sabar, serius, dan disiplin. Itulah kunci sukses Anton beragribisnis.
Di Kecamatan Caringin, khususnya kawasan Pantai Rancabuaya, Garut, Jabar, nama Anton cukup beken. Pria, wanita, bahkan anak-anak banyak yang mengenal sosok pria berdarah Batak itu.
Selintas, orang akan menyangka bahwa Anton memang asli warga Rancabuaya. Selain fasih berbahasa Sunda, ia pun memahami sejarah tatar Sunda. Namun setelah mengetahui nama lengkapnya, Rins Sirton Antonin Malau, barulah ketahuan kalau dia sesungguhnya berasal dari Sumatera Utara.
Meski begitu, kemampuan menempatkan diri yang bagus dari seorang “anak kolong” (anak tentara) yang satu ini, menjadikan kehadiran Anton di sana diterima warga dengan tangan terbuka. Di mata warga Desa Purbayani, Caringin, ia dikenal sebagai pria ramah dan mudah bergaul. Apalagi kegiatan pria kelahiran Bandung 1963 itu, pada akhirnya membawa angin segar bagi perbaikan perekonomian warga setempat.
ABCD
Pada 2005, suami Sri Juliati Maulina boru Simanjuntak ini terjun total ke agribisnis, di kawasan pantai selatan Garut. Ilmu bertani ia peroleh dari hasil pencarian informasi dan beberapa kali pelatihan.
Komoditas yang diusahakan kala itu adalah bawang merah, cabai merah, dan tomat. Ketiga jenis sayuran itu ia tanam di atas lahan 17 hektar (ha). Di luar itu, ia juga mengembangkan ratusan ekor domba dengan sistem penitipan (gaduhan) kepada warga setempat. Dari upaya itu pula, oleh rekan-rekannya, ia diberi gelar “ABCD” (Anton bawang, cabai, dan domba).
Apa hendak dikata, jerih payah itu belum mendatangkan hasil sesuai harapan. Domba yang dititipkan tidak berkembang. Karena itu, kini ia memelihara sendiri sebanyak 170 ekor.
Sementara pemasaran cabai dan tomat terhambat oleh transportasi. Sebab, jarak dari lokasi kebun ke pasar sangat jauh. Ke pasar Bandung misalnya, berjarak 110 km. Ditambah lagi kondisi jalan yang kurang memadai sehingga waktu tempuh lama, bisa menghabiskan 5 jam. Plus, terkadang kendaraan pengangkut tidak ada. Di sisi lain, hasil panen cabai dan tomat cepat busuk.
“Untuk sementara, cabai dan tomat bagi saya bukan komoditas unggulan,” ungkap sarjana ekonomi dari Universitas Islam Nusantara Bandung tersebut. Sebab itu pula, kurun 2005—2007, ia mulai mengembangkan jagung hibrida, seluas 23 ha.
Lagi-lagi Anton diterpa cobaan. Dari kebun seluas 23 ha, ia hanya bisa memanen 8 ha. Sebab, sebagian besar tanamannya mati akibat kemarau. Namun ia tidak patah arang, malahan kembali menanam 10 ha. “Di situ saya kembali modal,” kenangnya.
Memilih Komposit
Nama Anton kian populer ketika mengusahakan jagung secara besar-besaran. Tepatnya pada 2008, di tiga blok kebun ia mengelola 65 ha. Dari jumlah itu sekitar 63 ha ditanami jagung komposit unggul Sukmaraga. Sisanya ditanami jagung hibrida sebagai pembanding. “Awalnya, kami akan mengusahakan hingga 150 ha. Namun terhambat oleh peralatan pertanian,” kilahnya.
Berbeda dengan kebanyakan petani di Caringin, dalam penanganan jagung, Anton sudah menerapkan teknologi, di samping melibatkan tiga orang supervisi. Dalam mengolah tanah misalnya, menggabungkan manual dengan mekanik, seperti traktor tangan dan traktor roda empat. Sementara dalam pemeliharaan tanaman, ia banyak memanfaatkan potensi lokal. Antara lain pupuk kandang, guano, dan probiotik SOZOFM-1.
Dengan cara seperti itu, dari setiap hektar, ia mampu menuai hasil panen 9—10 ton jagung pipilan kering. Berarti dalam satu kali musim tanam, dari kebunnya bisa dihasilkan lebih dari 500 ton.
Atas keberhasilan tersebut, tahun ini Anton berencana kembali menanam jagung seluas 150 ha. Ditambah 40 ha bawang merah. Di luar Garut, pemilik sekolah gratis bagi anak-anak kurang mampu itu juga akan mengembangkan jagung di Banten seluas 1.500 ha. Soal modal, ia mengaku masih mengandalkan sumber sendiri, dan didukung seorang rekan, N.H. Nasoetion.
Disiplin
Sebelum menekuni agribisnis, selama 11 tahun Anton tercatat sebagai karyawan pertambangan PT Freeport Indonesia. Sekembalinya dari Papua pada 2002, ia sempat berbisnis penambangan dan katering, sambil tetap membuka kebun kecil-kecilan.
Sebenarnya, semasa masih di Freeport pun ia sudah mencintai pertanian. “Kalau cuti, saya menanam juga di sini (Rancabuaya). Tapi terkadang hasilnya tidak ada,” ucapnya mengenang masa lalu.
Baru pada 2005 itulah ia mengambil sikap untuk total beragribisnis. “Walau kata orang hasil pertanian tidak bisa ditebak, setelah dijalani ternyata hasilnya menakjubkan. Bahkan, kita bisa mengukur sendiri target pendapatan. Yang pasti di agribisnis ada kepuasan batin yang tidak bisa dinilai dengan materi,” tandasnya. Tapi memang, lanjut dia, harus ditekuni secara serius dan disiplin. Tidak boleh main-main. “Dengan tidak disiplin, berarti sudah gagal,” imbuhnya.
Selain itu, ”Belajar bertani adalah belajar hidup. Kita harus sabar dan memahami apa yang dibutuhkan tanaman untuk tumbuh dan berkembang,” papar pria pecinta alam itu.
Di luar kegiatan rutin beragribisnis, Anton kerap keliling desa sembari memanggul cangkul dan menenteng bibit tanaman tahunan, seperti albasia dan suren. Ketika menemukan lahan kosong, tanpa basa-basi ia langsung menanam dengan sukarela. Usai menanam, barulah ia memberi tahu si empunya lahan agar tanaman itu dipelihara. “Setelah besar, boleh ditebang, asal mereka kembali menanam,” kata pria berperawakan sembada itu.
Atas kecintaan terhadap lingkungan, kini Anton juga memiliki sekitar 200 ribu pohon albasia. Bukan hanya itu, warga Rancabuaya memanggil dia dengan sebutan Anton “Pacul” (cangkul).
Banyak warga sekitar kagum dengan kiprah agribisnis Anton. Sebagai petani dan pengusaha, ia dianggap menguasai seluk-beluk budidaya dan bisnis jagung. Mulai dari cara memperbaiki kondisi tanah, mengantisipasi cuaca, memilih varietas yang cocok, mengatasi hama penyakit, menangani pascapanen, hingga pemasaran. Dengan semua wawasan itu, tak heran usahanya cepat berkembang.
Alhasil, keberadaan Anton menjadi contoh positif bagi warga Caringin. Di sana sekarang banyak masyarakat mengikuti jejaknya. Bahkan banyak sawah berubah jadi kebun jagung karena lebih menguntungkan dibandingkan padi.
Dadang W. Iriana