Senin, 2 Maret 2009

Perlu Pemikiran dan Tindakan Jangka Panjang

“Persoalan jangka pendek harus diselesaikan tapi bila hanya jangka pendek saja yang diotak-atik, maka jangka panjang tidak akan pernah terjawab, dan pertanian kita akan selalu berada dari satu krisis ke krisis yang lain dan seterusnya,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA.

Mengapa demikian?

Sekarang ini pemerintahan dan masyarakat kita lebih banyak berpikir jangka pendek dan bermental krisis. Seolah-olah kita selalu berada dalam krisis. Padahal keadaan sebenarnya tidak begitu, yang krisis itu hanya pikirannya. Karena itu kita kadang-kadang harus mengatakan dalam hati dan pikiran bahwa kita tidak dalam kondisi krisis dan kita mampu mengendalikannya.

Pembangunan pertanian bukan hanya sibuk mengurusi pupuk, benih, pestisida, dan tetek-bengek lainnya. Memang semuanya itu penting tapi jika hanya mengurusi yang sifatnya jangka pendek, tidak akan membawa kita ke kemandirian, sektor andal, dan mampu bersaing dalam perekonomian global.

Mengapa kita sering berpikir jangka pendek?

Ada dua hal penyebabnya. Pertama, kita tidak bisa lepas dari mental krisis. Seolah-olah kita berada dalam kondisi krisis tapi sebenarnya tidak krisis. Namun kita telah menyakiti diri sendiri dengan berpikir seperti itu. Akibatnya, kita tidak bisa berpikir jernih dan jangka panjang. Solusinya, kita harus berpikir dan bertindak tidak dalam krisis.

Kedua, selama 10 tahun ini kita belum banyak berubah menjadi lebih baik karena kita belum mencari jalan keluarnya karena para pemimpin kita, baik tinggi maupun rendah, yang masa jabatannya lima tahun terlalu sayang pada kedudukannya. Mereka cenderung membuat kebijakan dan keputusan yang populis dan menyenangkan banyak orang, maka itu semua kebijakan bersifat jangka pendek. Seharusnya kita mencari pemimpin yang tidak peduli dengan kedudukan dan image-nya, tapi ia lebih peduli dengan prestasinya, khususnya prestasi jangka panjang.

Apa persoalan jangka panjang yang dihadapi pertanian kita?

Pertambahan penduduk. Sewaktu kita merdeka yang harus kita kasih makan sebanyak 80 juta, sekarang 230 juta jiwa. Kita berpacu dengan pertambahan penduduk dengan sumberdaya yang semakin terbatas. Apakah ada usaha untuk itu sekarang ini? Tidak ada.

Kerusakan lingkungan. Kita butuh lahan untuk berproduksi lebih banyak sehingga hutan dibuka yang praktis merusak lingkungan. Akibatnya, setiap tahun banjir, kekeringan, dan sawah puso, hal itu dikatakan sudah nasib. Tidak ada lagi pemikiran dan tindakan untuk mencari solusinya sampai saat ini.

Teknologi. Teknologi kita sangat ketinggalan. Teknologi tidak dapat diciptakan hanya dalam tempo 5 tahun, butuh waktu 25 tahun bahkan 50 tahun. Apakah ada yang berpikir untuk itu? Barangkali ada. Namun sayangnya yang sering kita dengar hanya keluhan-keluhan jangka pendek semata.

Pendidikan. Sampai saat ini petani kita rata-rata tingkat pendidikannya rendah, apakah dibiarkan begitu saja? Banyak yang komplain hal ini tapi tidak ada yang memikirkan solusinya. Kita harus meningkatkan pendidikan petani agar tidak ketinggalan dengan petani negara lain.

Infrastruktur. Irigasi dan jalan-jalan penghubung kita sudah rusak parah. Bujet yang dialokasikan untuk ini sangat jauh dari memadai.

Bagaimana kita bisa menjadikan pertanian kita mandiri, andal, dan bersaing secara global?

Kita butuh paradigma baru pada level makro dan mikro atau sektoral. Secara makro, kita tidak bisa mendapatkan pertanian yang andal, mandiri, dan mampu bersaing secara global apabila kita masih terus mempertahankan struktur ekonomi yang tidak berimbang. Sekarang tenaga kerja masih 45% di sektor pertanian, sedangkan kontribusinya pada PDB hanya sekitar 15%. Hal itu berakibat buruk pada pertanian kita. Pertanian tidak dapat memanfaatkan teknologi dan organisasi yang modern dan produktivitas per kapitanya tidak mampu bersaing dengan negara lain.

Jadi, solusi di pertanian bukan saja dilakukan di pertanian, tapi lebih banyak berada pada skala makro. Bila perekonomian makro tidak peduli pada pertanian, maka pertanian akan jalan di tempat. Menko Perekonomian dan Bappenas harus mencari jalan keluar soal perubahan struktur perekonomian yang pincang ini. Bila tidak ada perubahan dalam strategi pembangunan perekonomian nasional, jangan harapkan akan ada pertanian kita yang mandiri, andal, dan mampu bersaing secara global. Dan jangan berharap kemiskinan di negeri ini bisa ditanggulangi.

Pada level sektoral, kita butuh paradigma baru pembangunan pertanian, yaitu membangun sistem dan usaha agribisnis. Harus diubah pembangunan pertanian yang didorong oleh pemerintah, kepada pembangunan agribisnis yang didorong oleh masyarakat dan dunia usaha. Pemerintah bisa berganti setiap lima tahun dan menghasilkan kebijakan jangka pendek tapi dunia usaha selalu berpikir dan bertindak jangka panjang.

Jadi, pertanian harus dipimpin masyarakat atau dunia usaha, bukan oleh pemerintah seperti sekarang ini. Namun pemerintah masih perlu sebagai fasilitator dunia usaha pertanian. Dengan demikian yang menentukan keberhasilan pertanian adalah para petani dan pengusaha di on-farm dan off-farm.

Untung Jaya

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain