Senin, 2 Maret 2009

Mustafa Abubakar, Memacu Mobil Reot di Jalan Tol

Bertahun-tahun lamanya, Bulog menuai cercaan masyarakat karena tak mampu mengikis praktik korupsi. Tapi, setelah melakukan pembenahan, BUMN itu malah mendapat pujian dari FAO.    

Rasanya, kali ini masyarakat kita pun patut memberi pujian kepada Perum Bulog. Sebab perusahaan milik negara yang selalu merugi ini, sejak tahun lalu mulai meraih keuntungan. Tentu, untuk mencapai prestasi tersebut, telah dilakukan pembenahan manajemen secara besar-besaran. Pastinya, termasuk membasmi “sarang-sarang tikus” yang selama puluhan tahun telah mencoreng citra Bulog.

Bagi sebagian orang, prestasi manajemen Bulog memberangus budaya korupsi di lingkungan internal ini mungkin agak mengejutkan. Sebab, terkesan selama ini hal itu mustahil. Bahkan, Bulog mampu melakukannya dalam waktu relatif singkat, sekitar dua tahun. Ada apa gerangan?

Dari Rugi Jadi Untung

Diawali gebrakan pada Maret 2007, untuk memaksimalkan kinerja Bulog, pemerintah mengganti pejabat direktur utama dan para anggota dewan pengawas. Langkah ini dilanjutkan dengan pembinaan karyawan yang bersifat preventif. Diadakanlah ceramah-ceramah dengan pembicara dari KPK, dialog dengan Wapres Jusuf Kalla, training spiritual ESQ kepada seluruh kasubdit dan istrinya, sampai kepada momentum penandatanganan pakta integritas, yang pada dasarnya merupakan penegasan janji karyawan untuk tidak korupsi.

Semua langkah tersebut berujung pada tekad memangkas habis kebobrokan masa lalu. HUT Bulog ke-40 pada 10 Mei 2007 pun dijadikan sebagai momentum perubahan. “Saya mengajak para karyawan untuk menarik garis demarkasi dengan masa lalu, dan beriktibar pada sejarah Rasulullah yang mendapat wahyu pada usia 40 tahun,” tegas Dr. Ir. Mustafa Abubakar, Dirut Bulog yang asli Aceh ini.

Alhasil, dua tahun berjalan, upaya perbaikan ini menuai hasil positif. Salah satunya bisa dilihat dari perbaikan neraca perusahaan. Jika pada 2006 angka kerugian yang ditanggung BUMN itu mencapai lebih dari Rp500 miliar, akhir 2007 turun menjadi Rp300 miliar. Lalu, akhir 2008, malah bisa meraih laba sebesar Rp85 miliar.

“Dari sisi materi memang tidak besar, tapi bagi kami nilai spiritualnya sangat tinggi,” ujar Mustafa yang menggantikan Widjanarko Puspoyo, yang kini dipenjara terkait masalah korupsi. Mengingat rekam jejak Bulog yang begitu kelam, prestasi ini cukup menjanjikan harapan.

Sejak era Orde Baru kasus-kasus penyelewengan dana Bulog memang selalu heboh. Bukan hanya soal besarnya uang yang raib, tapi juga seringkali melibatkan sejumlah tokoh penting. Sebut saja, Presiden Gus Dur, Ketua DPR Akbar Tanjung, dan beberapa pejabat Bulog, seperti Beddu Amang, Rahardi Ramelan, Widjanarko Puspoyo, dan Waka Bulog Sapuan. Mereka adalah sederet pejabat yang karirnya terjungkal lantaran terkait dengan dugaan penyalahgunaan dana Bulog. 

Bahkan, dalam satu kesempatan berdialog dengan karyawan Bulog, Wapres Jusuf Kalla yang pernah menjabat Kabulog pun mengakui betapa beratnya godaan menjadi orang nomor satu di Bulog. “Untung saya cuma enam bulan menjadi Kabulog, kalau sampai lima tahun jangan-jangan akan bernasib sama dengan kabulog-kabulog lainnya,” begitu kisah Mustafa mengutip pernyataan JK.

Hari Pertama Tak Terlupakan

Ketika pertama kali berkantor di Bulog, Mustafa yang pernah menjadi Inspektur Jenderal di Departemen Perikanan dan Kelautan itu, mengaku sangat sedih melihat betapa rapuhnya kondisi internal instansinya. “Terus terang saja, saya ibarat diberi mobil reot, tapi disuruh lari kencang di jalan tol,” ujarnya memberi perumpamaan.  

Tapi, pengalaman menjadi penjabat Gubernur Nangroe Aceh Darussalam, tempat ia sering menghadapi persoalan pelik, dan harus bertindak cepat, menurutnya, sangat bermanfaat. Itu sebabnya ketika menghadapi persoalan internal Bulog, Mustafa dengan mudah segera menemukan akar permasalahan. Dari situ ia kemudian mengatur strategi untuk memanfaatkan ulang tahun Bulog ke-40 sebagai momentum memutus sejarah kelam Bulog.

Mustafa merasakan hari pertama berkantor di Bulog itu sangat mencekam. Kebetulan, saat itu sedang terjadi penggeledahan oleh pihak kejaksaan terkait kasus korupsi manajemen lama. Tapi yang paling tidak bisa dilupakannya pada hari itu, ia tak boleh masuk ke ruang  kerja dirut karena sedang digeledah. “Bayangkan, di hari pertama sebagai dirut, saya sudah menerima Surat Perintah penggeledahan dari kejaksaan,” kenang mantan Ketua Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) yang saat itu akhirnya terpaksa bekerja di ruang rapat.

Meski prihatin, tapi ia segera melihat, peristiwa diobrak-abriknya ruang kerja itu ada hikmahnya. “Barangkali memang ada baiknya, sebelum saya masuk ruang kerja disteril dulu, daripada nanti ada apa-apa terhadap saya,” ujarnya sambil tertawa.

Mustafa yang kelahiran Pidie, NAD, 60 tahun lalu, menyadari yang dihadapinya adalah corporate culture. Ia memperkirakan akan sulit dan berhadapan dengan pembangkangan dari dalam. Tapi ternyata, hal itu tidak terjadi. Rupanya, acara penggeledahan pihak kejaksaan itu telah menjadi semacam shock therapy. Maka, ia semakin yakin bahwa saat itu adalah momentum yang pas untuk melakukan perubahan.

Alhasil, strategi yang dibawa Mustafa berhasil meningkatkan kinerja Bulog. Dampaknya, pengadaan beras pada 2008 mencapai 1,7 juta ton melebihi target yang dipatok 1,5 juta ton. Stok beras mencapai 3,2 juta ton, cukup untuk persediaan 5 bulan sehingga Indonesia tidak perlu impor beras lagi.

Bulog juga bekerjasama dengan intansi terkait, menutup jalur ekspor impor. Dengan begitu, harga beras di tingkat konsumen pun sangat stabil, tidak terpengaruh tingginya harga internasional yang mencapai dua kali lipat. Bisa dikatakan, keseimbangan baru antara suplai, permintaan, dan harga di tingkat konsumen telah terbentuk.

Akhirnya, setelah dua tahun bekerja keras, Bulog pun mendapat pengakuan dari dunia internasional. Pertengahan Februari lalu FAO mengundang Bulog untuk berbicara di forum internasional tentang pengalaman suksesnya menstabilkan harga beras di dalam negeri, sekaligus melindungi petani produsen dan masyarakat. Ini satu bukti, memberantas korupsi harus dilakukan dengan kesungguhan hati.  

Krus Haryanto, Dadang WI, Yan Suhendar

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain