“Informasi di media massa yang bersumber dari pemerintah bahwa pada 2008 kita sudah swasembada beras. Dan diproyeksikan pada 2009 ini Indonesia secara potensial akan mengalami surplus beras 5 juta ton. Semua ini dapat menjadi berita yang menggembirakan, namun, ...,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancarai AGRINA.
Mengapa informasi tersebut berkualifikasi namun?
Berita mengenai swasembada masih sedikit meragukan karena indikasi mengenai harga beras masih jauh lebih tinggi daripada keadaan sebelum swasembada. Harusnya jika benar swasembada maka harga tidak akan naik, bahkan menurun secara drastis. Namun realita di lapangan tidak demikian. Oleh karena itu, berita mengenai swasembada masih perlu dicek kesahihannya.
Apalagi berita mengenai potensi surplus yang begitu besar juga mencengangkan. Dan jika itu benar, secara teoritis harga beras dalam negeri akan anjlok luar biasa. Dan informasi selanjutnya, karena alasan surplus yang begitu besar, maka pemerintah akan melakukan ekspor beras. Namun banyak hal yang perlu diperhatikan jika memang pemerintah melalui Perum Bulog berencana untuk melakukan ekspor.
Apa saja hal yang perlu diperhatikan untuk mengekspor beras?
Ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab. Perlu dicatat, harga beras dalam negeri termasuk harga pembelian pemerintah (HPP) saat ini sudah lebih tinggi daripada harga rata-rata beras kelas medium internasional. Dengan kondisi seperti itu, jika kita melakukan ekspor berarti jual rugi. Tidak hanya jual rugi, hal ini juga dapat berakibat tuduhan dumping. Indonesia menjual harga ke pasar internasional pada harga lebih rendah daripada harga di dalam negerinya. Hal ini bisa menimbulkan perselisihan dagang internasional.
Namun ada hal lain lagi, beras yang dibeli Perum Bulog itu bukanlah beras Perum Bulog melainkan beras milik pemerintah dan negara karena dibeli menggunakan uang negara. Perum Bulog bukanlah pemerintah apalagi negara, Perum Bulog hanyalah perusahaan pemerintah. Oleh karena itu penjualan beras milik negara melalui Perum Bulog potensial menimbulkan persoalan hukum, sebab Perum Bulog menjual barang negara. Beras yang dibeli Perum Bulog tujuannya untuk stok nasional yang akan disalurkan dengan tujuan sebagai raskin.
Apabila Perum Bulog mau menggunakan stok beras itu untuk keperluan lain, seperti tujuan ekspor, maka harus dipastikan bahwa Perum Bulog memiliki dasar hukum yang kuat dalam melakukannya. Salah-salah bisa menjadi Bulog-gate baru. Agar hal yang tidak diinginkan itu tidak terjadi, barangkali lebih baik ekspor beras itu diserahkan saja kepada pihak swasta. Tapi dalam kondisi harga beras di pasar internasional lebih rendah dibandingkan harga di dalam negeri, tidak ada pihak swasta yang ingin mengekspor. Jadi, secara kalkulasi ekonomi, mengekspor beras itu tidak menguntungkan, tapi kelihatannya dipaksakan.
Mengapa bisa terjadi harga beras di dalam negeri lebih tinggi dibandingkan pasar internasional?
Rupanya cara kita untuk mencapai swasembada beras saat ini masih terlalu mahal. Jadi kita menghasilkan beras untuk swasembada dengan biaya yang tinggi daripada negara lain, walaupun rata-rata produktivitas per hektar kita lebih tinggi dibandingkan negara lain. Kemungkinannya kita baru efisisen dalam penggunaan lahan, tapi belum efisien dan efektif dalam penggunaan benih, pupuk, pestisida, air, dan tenaga kerja. Hal tersebut dapat dikatakan demikian karena harga jual beras kita merupakan refleksi dari biaya produksi dan distribusi.
Maka tugas kita pada masa yang akan datang adalah bagaimana mencapai swasembada dengan biaya per unit beras itu kompetitif dibandingkan negara eksportir yang lain. Jika hal itu belum kita dapatkan, maka usaha ekspor beras sebenarnya inisiatif yang boros, salah kaprah, dan hanya gagah-gagahan. Jadi saat ini barangkali belum waktunya kita menjadi pengekspor beras.
Jadi apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas swasembada?
Pekerjaan kita yang mendesak saat ini adalah bagaimana menghasilkan beras dengan biaya produksi rendah tanpa mengabaikan pendapatan petani padi. Bila hal itu dapat kita capai, Indonesia akan menjadi negara swasembada beras dengan biaya rendah dan negara pengekspor beras yang membanggakan. Jadi kita bisa menjadi negara pengekspor beras yang berkelanjutan hanya apabila mampu menghasilkan beras lebih murah daripada harga internasional. Selain itu, produksi per kapita kita sudah lebih besar daripada konsumsi per kapita. Hal ini belum kita capai.
Sambil berupaya mencapai swasembada beras berkelanjutan dengan biaya produksi rendah, sebagian dari sumberdaya yang digunakan untuk mencapai swasembada barangkali sudah saatnya dapat dialihkan untuk komoditas lain. Sehingga kita pun dapat berswasembada secara berkelanjutan pada komoditas lain, seperti jagung, kacang-kacangan, singkong, dan tebu.
Untung Jaya