Senin, 16 Pebruari 2009

Sopiyan, Pengemudi Tank Jadi Petani

Petani harus pantang mundur, tidak gampang menyerah, jujur, disiplin, dan selalu belajar dari kesalahan agar berhasil.

Hanya ingin memanfaatkan waktu luangnya agar dirinya berguna sekaligus sebagai terapi pengobatan malaria yang dideritanya, menggiring Sopiyan menjadi seorang petani. Kala itu, ia ditugaskan di Timor Timur sebagai pengemudi tank dan teknisi mesin dari Batalyon Kavaleri (Yon Kav) 9 Serpong, Jawa Barat. Kondisi lingkungan tempat tugas membuatnya terserang penyakit malaria. Dokter menganjurkannya minum obat dan selalu menjaga badan agar selalu berkeringat atau berolahraga.

“Saya olahraga dan berkebun. Keringat akan keluar saat mencangkul,” kenang Sopiyan. Agar penyakitnya tidak kambuh, ia memanfaatkan setiap waktu kosong untuk berkebun sayur-mayur di lahan sekitar markas Angkatan Darat. “Hasilnya ternyata bisa menyuplai kebutuhan sayuran untuk makan satu pleton prajurit, lalu berkembang bisa menyuplai satu kompi dan masih ada sisanya,” ceritanya. Ia lalu menjual sebagian hasil panen ke pasar di seputar markas. Hasilnya, ia mampu mengirimi istrinya uang Rp200 ribu per bulan di luar gajinya.

Keranjingan berkebun membuatnya betah. Ketika teman-temannya ingin cepat-cepat angkat kaki dari Timor, justru Sopiyan berharap tugasnya terus diperpanjang. Alasannya, sudah enak menjadi petani di luar jam tugas sebagai pengemudi tank dan teknis mesin di angkatan darat. Namun pada 1997, Sopiyan ditarik kembali ke Yonkav 9 Serpong. Kegiatan berkebun pun tetap berlanjut.

Konsep Pasar Kebun

Mula-mula Sopiyan yang menjadi petani sayur-mayur di Pagedangan, Serpong, Tangerang ini mengalami kendala dalam pemasaran. Sampai 2002, hasil panennya selalu ditawar murah. “Meskipun kualitasnya bagus, tetap saja harganya seenak para pengumpul, berbeda saat memasarkan hasil panen di Timor,” jelas pria yang bertugas di Angkatan Darat sejak 1977.

Menurut Sopiyan, pengalamannya tidak beda dengan petani lain. Jalur pemasaran yang ditempuhnya cukup panjang hingga ke konsumen. Mulai dari pengumpul, ke bandar daerah, bandar di kota, pedagang, ke pedagang eceran, baru sampai ke konsumen. Tak pelak harga jual di tingkat petani tertekan.

Hal tersebut menginspirasi tentara berpangkat terakhir Sersan Kepala ini untuk menjual langsung hasil panennya ke konsumen dengan konsep “Pasar Kebun”. Artinya, konsumen bisa langsung datang ke kebun atau sawah, memilih sayuran yang diinginkan, atau memetik sendiri sayuran itu, lalu sayuran ditimbang dan langsung bayar.

Di luar dugaan, menurut suami Eti Ruhmiati itu, hasilnya sangat efektif karena ternyata minat konsumen begitu besar. “Saya bisa menjamin harga tetap stabil dan petani tidak dirugikan meskipun memberikan bonus beli satu kilo dapat dua kilo dengan harga yang sama di pasar,” kata ayah tiga putri yang sudah mengusahakan 37 jenis sayuran ini.

Ia memberi ilustrasi, misalnya, 1 kg timun di jual ke pengumpul laku paling tinggi Rp1.000. Kalau dijual langsung bisa Rp6.000 per kg sesuai harga pasaran. “Konsumen diuntungkan tidak hanya harga dan banyaknya sayur yang dibeli, juga kualitas sayuran dan kesegarannya bisa dijamin,” kata ayah dari Yanti Marlianti, Dedesalam dan Rizki Gumantari ini.

Kini Sopiyan sudah tidak perlu “gali lubang, tutup lubang” dalam mengembangkan usaha pertaniannya. “Dulu penghasilan jadi petani antara Rp500 ribu hingga Rp1 juta per bulan, kini sudah lebih dari itu,” ia enggan menyebut jumlah yang pasti.

Mengajak Pemuda

Hingga tahun 2000, Sopiyan harus mengundurkan diri dari dinas kemiliteran. “Saya ingin merubah nasib. Saya ingin bisa menciptakan lapangan pekerjaan. Saya prihatin banyak anak muda yang mengganggur, apa salahnya jika mereka kita ajak beragribisnis,” tuturnya.

Sopiyan kemudian membangunkan lahan tidur dan mengajak anak muda di desanya untuk bergabung menjadi petani sayuran. “Banyak yang menolak saat itu. Banyak alasan yang dikemukakan mereka, seperti tidak punya modal dan lahan,” lanjut petani yang sudah memanfaatkan lahan tidur seluas 32 ha untuk pertanian ini.

Saat itu, Sopiyan hanya menjelaskan bahwa menjadi petani tidak harus memiliki lahan luas, lahan kecil pun bisa asal ada kemauan. Ia menyadari, profesi petani seringkali tidak menarik bagi anak muda karena mereka lebih memilih bekerja di kantor atau ke kota. “Saya tidak memungkiri karena mereka ingin cepat mendapat uang, dan bisa dipandang keren,” kata pria kelahiran 1945 ini.

Beberapa anak muda yang tertarik lalu diajaknya untuk terlibat langsung menjadi petani. “Mereka saya latih disiplin, jujur, menghargai waktu dan lain sebagainya,” katanya. Di antara mereka yang telah berhasil menjadi petani sayuran mengaku senang sebagai petani ketimbang tukang ojek atau kerja di kota. “Jadi, sebenarnya tidak ada masalah gersang atau subur tanah itu, tidak punya modal dan tidak punya lahan. Yang penting, ada niat dan kemauan untuk menjadikan lahan tersebut bermanfaat bagi kita,” tambah kakek empat cucu ini.

Sopiyan berfilosofi, jadi petani harus pantang mundur, tidak gampang menyerah, jujur, disiplin dan selalu belajar dari kesalahan agar berhasil. Bersama istri dan anak-anaknya, ia membuka program bagi siapa saja yang ingin belajar bertani. “Saya ingin generasi muda juga tahu kehebatan bangsa ini sebagai bangsa pertanian,” tandasnya.

Selain itu, ia juga membuka usaha rumah makan di samping kebunnya. Bahan baku khususnya sayuran disuplai langsung dari kebun. Sukses yang diraihnya tersebut mendapat respon dari berbagai pihak, tak terkecuali dinas pertanian berbagai provinsi. “Mereka meminta saya menjadi pembicara khususnya untuk memotivasi anak muda agar mau terjun ke pertanian,” katanya.

Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun tertarik dengan apa yang telah dilakukannya dan memberikan penghargaan kepadanya sebagai pelopor masyarakat yang telah berhasil dalam kelompok agribisnis hortikultura.

Tri Mardi Rasa

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain