Senin, 19 Januari 2009

Strategi Pangan Berkelanjutan di Asia (Tulisan Kedua dari Dua Tulisan)

“Dengan pengecualian regim perdagangan beras di Indonesia, tiga negara, yaitu Indonesia, Filipina, dan Bangladesh, telah sangat terbuka dalam perdagangan produk pertanian. Secara global mereka penentu harga di pasar dunia,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000–2004, saat diwawancarai AGRINA.

Bagaimana menyangkut kebijakan dan politik di berbagai negara secara terinci?

Indonesia melindungi petani padi melalui pajak impor sebesar Rp430 per kg dan menetapkan harga beras dalam negeri lebih tinggi dibanding harga pasar dunia. Filipina dan Indonesia mempunyai sistem pembelian dan distribusi secara nasional, yaitu BULOG di Indonesia dan National Food Authority di Filipina. Di Bangladesh, The National Trading Corporation juga telah melakukannya dan masih berpartisipasi dalam perdagangan. Indonesia mempengaruhi harga domestik pada level petani melalui harga pembelian, pembelian secara lokal, dan sistem distribusi yang dikoordinasi oleh Badan Ketahanan Pangan.

Alokasi untuk riset sekitar 1% dari GDP pertanian di Bangladesh, sedangkan Indonesia di bawah 0,1%. Investasi untuk irigasi di Indonesia secara serius sangat kurang dan tidaklah mungkin mengambil 30% dari total bujet pemerintah untuk rehabilitasi sistem irigasi. Situasi yang sama juga dijumpai di Filipina. Hal ini diperlukan upaya jangka panjang bukan saja dari orang-orang yang bekerja pada riset pertanian, tetapi diperlukan kerjasama  pemerintahan pusat dan pemda, swasta, serta masyarakat.

Dapat dikatakan bahwa negara-negara Asia menjadi korban dari awal kesuksesannya dalam peningkatan hasil panen dan produksi. Kepuasan, ketidakpedulian telah mendominasi, dan alokasi bujet untuk pertanian secara nasional diabaikan. Sementara Bank Dunia yang mempunyai banyak sumber dana telah mengabaikan pertanian. Namun Bank Dunia, setelah 27 tahun, menyatakan, pada 2008 perkembangan dunia ke arah pertanian. Mungkin hal tersebut disebabkan krisis harga pangan yang melanda dunia.

Mengapa bisa terjadi lonjakan harga beras pada 2008?

Lonjakan harga beras terjadi karena adanya permintaan yang lebih besar secara regional. Namun peningkatan menjadi lonjakan harga karena masing-masing negara hanya memikirkan kepentingan negerinya sendiri. Sebagai contoh, India dan Vietnam sebagai eksportir tiba-tiba melarang ekspor beras. Lalu Filipina melakukan tender terbuka dalam suasana kepanikan kekurangan beras. Akibatnya, harga beras dalam tempo beberapa bulan pun melonjak dari sekitar US$ 400 per ton menjadi US$1.000.

Hal ini menimbulkan kecemasan yang luar biasa di seluruh Asia, teristimewa negara-negara pengimpor beras. Lonjakan ini juga diperparah karena adanya unsur spekulasi dari para pedagang. Tapi pada intinya adalah kurangnya kerjasama dan koordinasi antara pemerintah dan para pengusaha di Asia ditambah dengan tidak tersedianya data yang akurat dan terpercaya bagi pengambil keputusan.

Bagaimana upaya bersama untuk menanggulangi lonjakan harga beras tersebut pada masa yang akan datang?

Harga ditentukan oleh suplai dan demand. Karena itu, agar harga jangan bergejolak, harus ada usaha untuk bisa mengontrol kekuatan suplai dan demand, khususnya kekuatan suplai. Selain itu, pengalaman 2008 menunjukkan, kebijakan yang tidak terkoordinasi bisa menimbulkan kepanikan dan juga menimbulkan krisis harga. Beberapa upaya bersama yang dapat dilakukan. Pertama, mengembangkan suatu stok beras regional Asia. Barangkali ide ini cukup menarik buat negara-negara pengimpor tetapi tidak cukup menarik bagi negara-negara pengekspor beras. Jadi, ide itu walaupun tampaknya bagus sangat sulit untuk merealisasikannya.

Kedua, usaha yang lebih realistis adalah melakukan koordinasi yang lebih baik antara negara-negara di Asia yang didasarkan pada data yang akurat mengenai keadaan produksi dan konsumsi. Dengan demikian bisa mengurangi kesalahan prediksi dari pengambilan keputusan dan mengurangi adanya spekulator yang memanfaatkan informasi yang tidak akurat. Ketiga, kerjasama penelitian untuk meningkatkan produksi dan produktivitas antara negara-negara di Asia masih perlu dikembangkan. Dengan demikian kemampuan produksi regional bertambah.

Dan keempat, perhatian negara-negara di Asia dan juga organisasi internasional seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia sudah sangat berkurang untuk pertanian khususnya pembangunan infrastrukturnya. Untuk mencegah krisis pada masa yang akan datang, negara-negara di Asia dengan bantuan dari Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia dapat mengalokasi bujet yang lebih besar untuk pembangunan pertanian, khususnya mengalokasikan bujet yang lebih besar untuk beras.

Untung Jaya

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain