Demi cupang ia rela melepas jabatan sebagai direktur pemasaran ekspor di sebuah perusahaan makanan.
Itulah gambaran kecintaan Joty Atmadja terhadap ikan hias cupang. Ia sungguh tak menyangka hobi memelihara cupang yang digelutinya sejak sekolah dasar ini bakal memberinya peluang bisnis. Bersama seorang temannya, alumnus Fakultas Teknologi Pertanian UGM 1986 ini membuka farm budidaya cupang hias di Bintaro, Tangerang.
Di farm miliknya tersebut, Direktur Pemasaran Ekspor PT Dian Aneka Sejahtera yang bergerak di bidang makanan ini menekuni dan mengembangkan hobinya menjadi usaha sampingan. Di sini pula ia banyak belajar mengenai budidaya cupang selain dengan mengikuti berbagai seminar. Merasa semakin piawai memelihara, ia pun lantas sering mengikutkan ikan-ikan koleksinya ke ajang kontes dan pameran cupang di berbagai kota di Indonesia, bahkan sampai keluar negeri. "Kegiatan ini begitu banyak menyita waktu kerja saya sebagai seorang karyawan," ungkap pecinta Beatles dan Ebiet G. Ade ini. Bahkan seringkali ia harus minta izin dan cuti hanya untuk ikut kontes cupang.
Lama-kelamaan Joty merasa tidak enak hati dengan manajemen tempatnya bekerja. Kemudian pria asli Bandung ini pun memutuskan angkat kaki dari tempat kerjanya pada 2006. "Saya resign karena harus fokus pada usaha cupang ini, meskipun sebenarnya manajemen tidak mempermasalahkannya," ceritanya saat ditemui AGRINA di rumahnya. Sejak itu pula dirinya semakin serius dan mencoba berinovasi untuk meningkatkan mutu hasil budidayanya. "Keseriusan sangat dibutuhkan agar saya bisa menjual produk-produk saya," tandas pengagum Paus Paulus II, YB MAngunwijaya, Philip Kotler, dan Teater Koma ini.
Harus Tahu Empat Hal
Langkah Joty terjun ke bisnis cupang tentulah dengan naluri bisnis yang kuat. Potensi ikan hias Indonesia, khususnya ikan cupang, menurutnya, lebih besar dibandingkan negara ASEAN lainnya. Namun sayang, masih banyak problema dan aspek yang perlu dibenahi serta terus digali. Nilai usaha dari budidayanya pun sangat besar, bahkan beberapa usaha ikutan lainnya pun kecipratan untung dari usaha ini.
Ia berpendapat, ikan cupang pantas menjadi salah satu primadona ikan hias di Tanah Air di luar arwana dan botia. "Bisa dikatakan, ikan cupang ini seakan tidak ada matinya. Jumlah peserta kontes dan pameran yang terus meningkat menjadi indikasi budidaya ikan ini sangat menguntungkan karena permintaan pun semakin meningkat,” jelas suami Lily Widjajani Ekopurnomo tersebut.
Selama ini, di Indonesia pembudidaya cupang juga bertindak sebagai pemasar ikan hasil budidayanya sendiri. Karena itu, supaya sukses berbisnis, Joty yang mulai serius berbisnis cupang sejak 2002 ini berpandangan, pembudidaya harus tahu empat hal, yaitu produk yang dihasilkan, harga, promosi, dan distribusi cupang.
“Agar cupang bisa memiliki nilai jual, maka cupang tersebut harus unik, bagus, dan yang penting memenuhi kebutuhan konsumen,” jelasnya. Sayangnya, imbuh dia, banyak pembudidaya yang sering latah membuat produk yang sama dalam waktu berbarengan. Jika terjadi over produksi, maka yang rugi petani karena petani banting harga sehingga merusak pasar. Untuk mencegah hal itu, petani harus konsisten dengan produk yang dihasilkannya tersebut. Tinggal bagaimana menambah dan memunculkan keunikannya lebih menarik dan tidak statis sehingga tetap bernilai jual. “Produk yang unik, menarik tentu yang dicari orang,” tegasnya.
Hal kedua adalah harga. Jangan sampai harga yang ditawarkan lebih tinggi atau bahkan lebih rendah dari harga sebenarnya. “Harga cupang bisa kita tentukan sendiri karena cupang merupakan komoditas hobi, jadi patokan murah dan mahal tergantung konsumennya,” ujarnya.
Ketiga adalah promosi. Selama ini petani tidak mau melakukan promosi dan hanya menunggu pembeli saja. Padahal jika mereka sering mengikuti kontes dan pameran, kemungkinan besar produk-produk yang mereka hasilkan dikenal banyak orang. Keempat adalah distribusinya, yaitu bagaimana petani itu menyebarkan hasil budidayanya.
Cupang Alam
Lebih jauh soal spesies cupang, Joty mengatakan, Indonesia tercatat sebagai negara memiliki jumlah spesies paling banyak di dunia. Ada sekitar 50 spesies yang tersebar dari timur hingga ke barat kepulauan Indonesia. “Bagi hobiis di mancanegara, ikan-ikan cupang alam Indonesia merupakan ikan yang eksotik. Mereka banyak yang tertarik dan ingin mendapatkan ikan tersebut,” tutur Joty.
Permintaan begitu besar dari para hobiis di luar negeri ini bisa meningkatkan harga cupang alam yang semula tidak ada harganya. Pasaran cupang alam hampir sama dengan cupang hias, yaitu US$5—US$15 per ekor. “Inilah demand yang harus kita kembangkan karena pasar sudah tercipta,” lanjut penggenggam gelar Magister Manajemen ini.
Melihat perkembangan tersebut, pria kelahiran 11 Oktober 1962 ini khawatir cupang alam akan punah. Karena itu ia bersama teman-temannya yang tergabung dalam Indo Betta Splendens Club (InBS) bekerjasama dengan Loka Riset Budidaya Ikan Hias Depok, Jabar, untuk membudidayakan cupang alam. “Kita jangan hanya bisa menangkap di alam dan menjualnya karena tanpa pengembangbiakan bisa-bisa ikan ini punah,” kata pengoleksi 17 spesies ikan cupang alam ini.
Selain itu, ia juga mengembangkan sendiri cupang-cupang asal Kaltim, Kalbar, Kalteng, Jambi, Raiu, dan Jawa di farm miliknya di Bekasi. “Siapa lagi yang akan peduli dengan ikan-ikan ini jika bukan dari hobiis dan pengusahanya,” kata ayah dari Aretha Nessia Atmadjaja dan Bianca Erika Atmadjaja. Ia juga berharap, dengan semakin banyaknya temuan-temuan spesies yang ada di alam itu, pemetaan genetiknya menjadi lebih mudah. Jadi, bila suatu saat ada yang ingin mengembangkan tidak sulit mengetahui cara-cara budidayanya.
Tri Mardi Rasa