Senin, 5 Januari 2009

Strategi Pangan Berkelanjutan di Asia (Tulisan Pertama dari Dua Tulisan)

“Manusia butuh makan setiap hari. Namun alam memberikan hasil panen di tempat dan waktu tertentu. Semua usaha pertanian dan manusia di Asia terus berusaha menghadapi masalah ini sehingga membutuhkan perhatian penuh sampai nanti,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancarai AGRINA.

Bagaimana kita melihat produksi beras di Asia?

Pertama, mengenai geografi dan iklim. Di Asia dijumpai satu lahan luas di bagian utara khatulistiwa, terdapat area pegunungan, dataran yang luas, dan sungai. Kondisi ini cocok untuk memproduksi beras dalam skala besar dengan irigasi dan mekanisasi yang memadai. Bagian selatan khatulistiwa kita menemukan kepulauan besar, Filipina dan Indonesia, serta benua Australia sampai ke selatan. Kepulauan tersebut terdiri dari gunung berapi dengan areal relatif kecil untuk dapat memproduksi beras.

Negara-negara di bagian utara khatulistiwa mempunyai kesempatan yang bagus dalam hal lahan serta suplai air untuk memproduksi beras. Kecuali Jepang yang mempunyai daerah vulkanik yang luas, dan Bangladesh yang terlalu sering mengalami banjir. Negara-negara lainnya mempunyai dataran rendah dan menengah yang luas.

Untuk menghasilkan gambaran secara menyeluruh kita harus melihat waktu panen. Di wilayah utara angin musim bergerak dari barat ke timur, lalu kembali lagi. Hal ini menentukan waktu panen. Saat Asia bagian utara khatulistiwa panen, Asia di bagian selatan ekuator tidak panen, demikian sebaliknya.

Bagaimana kondisi perdagangan beras di Asia?

Ekonomi perberasan di Asia mendekati sebuah ekonomi regional “alamiah”. Dalam kenyataannya selama berabad-abad, setiap musim panen di suatu daerah di Asia akan menghasilkan aliran perdagangan. Hal itu disebab pasar beras internasional terlalu kecil dibandingkan total konsumsi. Selama bertahun-tahun, pasar beras internasional hanya sekitar 4%—5% dari total konsumsi, dan berkembang menjadi 7%—8%, sehingga perdagangan beras bukan lagi merupakan bisnis yang “tidur”.

Perubahan iklim dan suplai air memberikan ekstra tekanan dalam sistem ini. Akhir-akhir ini penelitian yang dilakukan CAPSA di tujuh negara memperlihatkan variasi hasil panen di tingkat lokal, dan produksi meningkat secara dramatis pada tahun-tahun terjadi El Nino, dan pengaruhnya meluas sampai Malaysia, Thailand, Myanmar, Bangladesh dan Vietnam, di samping  negara-negara lain yang secara tradisional telah terpengaruh El Nino seperti Filipina dan Indonesia.

Bagaimana kaitan antara produksi dan konsumsi masing-masing negara?

Kawasan Asia mempunyai variasi yang unik dalam ekonomi. Jepang yang telah maju, macan ekonomi, lentur, dan cakap. Raksasa ekonomi yang sedang muncul, yaitu China dan India. Negara berkembang berorientasi ekspor, seperti Vietnam. Negara dengan fase stagnasi panjang dan menjanjikan dalam jangka panjang, seperti Indonesia, Filipina, dan Sri Lanka. Negara berpenduduk padat Bangladesh. Negara dengan lahan tertutup seperti Laos, dan yang sedang memulihkan ekonominya seperti Kamboja. Dan negara-negara Asia tengah yang baru terbentuk. Serta tidak lupa negara Pasifik, seperti Australia dan Selandia Baru. Di antara negara-negara ini ada tiga negara yang bergantung pada impor beras, yaitu Indonesia, Filipina, dan Bangladeshh.

Indonesia, satu-satunya negara yang memproduksi dan mengonsumsi beras dalam jumlah besar. Namun musim menjadi karunia karena saat Indonesia membutuhkan beras, negara-negara di bagian utara khatulistiwa sedang panen. Hal ini berarti saat panen padi di Indonesia, negara-negara di bagian utara khatulistiwa sedang musim kering.

Filipina yang sama posisinya seperti Indonesia bervariasi dalam hal musim. Filipina menghadapi keterbatasan lahan dibandingkan Indonesia, dan juga lebih banyak perkotaan daripada Bangladeshh dan Indonesia. Bangladesh didominasi oleh dataran rendah dan menengah pada delta sungai terbesar di dunia, Sungai Gangga dan Brahmaputra, yang menjadi langganan banjir tak tertandingi di dunia. Jadi, lebih dari Indonesia dan Filipina, lahan menjadi kendala tetap bagi Bangladeshh.

Bagaimana dengan perkembangan lahan untuk padi dan produktivitasnya?

Luas area meningkat secara substansial mulai 1960-an sampai 1990-an di Bangladesh dan Indonesia, dan sedikit di Filipina. Saat ini hanya sedikit peningkatan di Indonesia dan Filipina, sementara Bangladesh pertumbuhannya stagnan. Produktivitas telah meningkat, Indonesia telah mencapai 4 ton per ha pada 1980-an. Di Bangladesh dan Filipina stagnan pada level yang lebih rendah. Di Indonesia dan Bangladesh produksi saat ini hanya meningkat sedikit, serta Filipina akhir-akhir ini meningkat pertumbuhan produksinya meskipun berjalan lambat. Produktivitas menjadi satu-satunya sumber kenaikan produksi. Masih banyak potensi kenaikan hasil. Di Jawa sebagai contoh, produktivitas padi sekitar 6 ton per ha bahkan ada yang lebih tinggi.

Semua itu tidak terlepas dari sukses revolusi hijau. Harus diakui, revolusi hijau pada dasarnya adalah pertemuan antara potensi teknis dari varietas padi yang telah dikembangkan dengan investasi masyarakat dalam skala besar. Namun di negara yang kebutuhan kalori penduduknya sangat tergantung pada beras dan sumber daya lahan terus berkurang, maka secara politik sangat beralasan apabila beras menjadi komoditas politis. Ini terjadi di Bangladesh, Filipina, dan Indonesia.

Untung Jaya

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain