“Rilis pemerintah belakangan ini mengatakan kita swasembada beras pada 2008. Jika benar itu merupakan hal yang menggembirakan dan hadiah akhir tahun buat bangsa Indonesia. Dan selamat kepada pemerintahan Presiden SBY dan Wapres JK,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancarai AGRINA.
Mengapa Profesor mengatakan jika benar?
Kita harus menunggu kepastiannya sampai 2008 berakhir. Statistik mengenai produksi beras baru sebatas ramalan, maka statistik surplus juga masih ramalan. Selain itu, kita melihat hal yang kontradiktif pada minggu-minggu belakangan ini, yaitu harga beras merayap naik. Bila surplus dengan kuantitas seperti diumumkan pemerintah yang jutaan ton itu, menurut hukum ekonomi, harga pada tingkat produsen, distributor, pengecer, dan konsumen akan jatuh.
Seberapa penting swasembada beras itu bagi bangsa Indonesia?
Sangat penting, bukan hanya dari kacamata ekonomi dan ketahanan pangan tetapi juga dari segi harga diri bangsa. Sangat ironis bila negara agraris tidak mampu menyediakan makanan pokoknya sendiri. Jadi, setiap peristiwa swasembada beras adalah peristiwa yang sangat membanggakan.
Sebenarnya kita sudah mengalami beberapa tahun swasembada, yakni pada pemerintahan Orde Baru 1984 dan akhir pemerintahan Megawati Soekarnoputri pada 2004. Dan menyusul sekarang ini 2008. Selayaknya sejak 2004 sampai 2008 ini kita bisa terus swasembada. Namun 2005, 2006, dan 2007 keadaan swasembada itu terkoreksi. Dan syukurlah pada 2008 ini bisa dicapai lagi.
Apa perbedaan pencapaian swasembada 1984, 2004, dan 2008?
Swasembada 2004 kita peroleh pada saat harga beras sangat rendah baik di dalam maupun luar negeri, sehingga insentif buat petani untuk meningkatkan produksi sangatlah rendah. Di samping itu, bujet pemerintah untuk pembangunan pertanian saat itu kecil, sedikit kurang dari Rp3 triliun. Dan kebijakan subsidi pupuk yang sudah dipreteli pada masa akhir Orde Baru kita mulai lagi sekalipun hanya Rp1,3 triliun.
Sedangkan pada 2008 ini harga beras sudah sangat tinggi yang peningkatannya dimulai sejak 2005. Barangkali itu salah satu sebabnya produksi bisa meningkat karena petani memperoleh insentif. Ini adalah pelajaran yang sangat baik tentang pentingnya insentif harga buat petani untuk meningkatan produksi dan mencapai swasembada. Tapi harga yang tinggi ini sangat memberatkan para konsumen.
Swasembada 2008 bukan hanya mahal buat konsumen tapi juga mahal buat pemerintah. Bujet Departemen Pertanian 2008 sudah lebih dari Rp9 triliun dan subsidi pupuk Rp10 triliun. Angka-angka tersebut menunjukkan keseriusan pemerintah saat ini untuk mencapai swasembada beras, dan juga menunjukkan mahalnya biaya mencapai swasembada. Tak beda dengan swasembada 1984 butuh biaya sangat tinggi melalui Program Bimas dan Inmas.
Kenapa kita sulit untuk swasembada beras itu?
Swasembada memang pekerjaan sulit karena ada beberapa hal. Pertama, penduduk masih terus bertambah sekitar 1,3% per tahun atau sekitar 3 juta jiwa. Di samping itu, konsumsi beras per kapita per tahun masih tinggi. Oleh karena itu, tekanan pertumbuhan konsumsi sering lebih besar daripada kemampuan pertumbuhan produksi. Kedua, diversifikasi pangan ke non-beras masih berjalan sangat lambat. Diversifikasi sering menjadi sangat sulit karena kebijakan yang membuat harga beras secara artifisial murah.
Dan ketiga, swasembada lebih banyak berorientasi pada produksi di level on-farm dan kurang mengutak-katik aspek konsumsinya. Seolah-olah pencapaian swasembada beras itu hanya menjadi tugas Departemen Pertanian. Padahal menyangkut juga masalah konsumsi yang melibatkan banyak departemen, seperti Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Departemen Kesehatan, Departemen Keuangan, dan Kementerian Riset dan Teknologi.
Bagaimana membuat agar swasembada beras bisa berkelanjutan?
Ada konsistensi, perbaikan dan peningkatan, serta koreksi terhadap kebijakan sebelumnya. Jangan pejabat berganti lantas kebijakan, program, dan sumberdaya manusianya menjadi berubah tanpa analisis kekuatan dan kelemahan dari kebijakan, program, dan sumberdaya manusia sebelumnya.
Konsumsi beras per kapita harus turun. Konsumsi beras per kapita kita disebutkan 135 kg/kapita/tahun sama dengan konsumsi di Jepang sekitar 40 tahun lalu. Sekarang di Jepang konsumsinya sekitar 60 kg dan Thailand sekitar 80 kg sehingga mereka bisa swasembada. Bila kita bisa mencapai konsumsi beras seperti masyarakat Jepang dan Thailand sekarang, maka produksi beras kita surplus dan bisa mengekspornya.
Dari sisi produksi kita masih bisa mengupayakan peningkatan indeks penanaman dan produktivitas, penelitian varietas padi berumur lebih pendek, mempertahankan areal sawah beririgasi, dan memperbaiki saluran irigasi yang ada. Namun peningkatan produksi ada limitnya. Oleh karena itu diversifikasi pangan ke non-beras harus dilakukan. Kita harus mengupayakan peningkatan produksi sumber karbohidrat lain dengan harga relatif lebih murah daripada beras. Dan pengembangan teknologi untuk membuat pangan non-beras itu menjadi lebih enak, lebih bergizi, dan lebih bergengsi.
Untung Jaya