Selasa, 25 Nopember 2008

Agribisnis Jalur Utama Pembangunan II

Bagian Kedua dari Dua Tulisan

“Agar agribisnis dapat menjadi jalur utama pembangunan, maka para petani harus bangkit dan bangun sehingga memiliki kekuatan politik ekonomi,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancarai AGRINA.

Mengapa pertanian tidak menjadi jalur utama pembangunan?

Power itu terkait erat dengan politik atau kekuasaan. Jadi, food power adalah kekuatan politik petani, namun tidak perlu menjadi partai politik. Kekuatan politik petani ini maksudnya partisipasi mereka dalam menentukan arah pembangunan pertanian dan ekonomi negara. Hal ini sudah dilakukan di Jepang dan berbagai negara lain. Sementara di Indonesia yang terjadi adalah depolitisasi petani kita selama 30 tahun atau selama Orde Baru. Hal itu membuat petani yang potensinya begitu besar tidak menjadi power dan tidak punya kekuatan politik ekonomi. Sementara organisasi ekonomi yang kuat mempunyai posisi tawar kuat pula terhadap pemerintah dan partai politik. Contohnya koperasi petani.

Sayangnya, pada masa Orde Baru koperasi dijadikan alat politik oleh pemerintah yang berkuasa. Saat pemerintah tersebut tidak berkuasa lagi, koperasi sebagai kekuatan politik ekonomi menjadi buyar karena mereka terbiasa tergantung pada pemerintah. Sementara pemerintah baru direpotkan oleh krisis moneter sehingga tidak menghiraukan koperasi sehingga koperasi petani menjadi hancur.

Masih adakah masalah lainnya?

Ada. Pertama, Indonesia pernah mengalami pembangunan ekonomi yang baik, yaitu pada permulaan pemerintahan Orde Baru tapi belakangan mundur. Kemunduran itu disebabkan antara lain karena makin jauh dari prinsip the right man in the right place, yang sering terjadi adalah the wrong man in the right place dan itu masih berlanjut dalam banyak hal sampai saat ini. Sekarang ini yang penting jika ada jabatan di suatu tempat, maka kerabat saya atau teman sekampung atau separtai dengan saya yang di situ. Apakah ia punya track record di sana, apakah ia mampu di sana, apakah ia bisa memimpin di sana, menjadi tidak penting. Itu bisa kita lihat dalam banyak kasus dari birokrasi sekarang ini.

Barangkali hal itu ada hubungan dengan sistem politik kita yang begitu banyak partai. Mereka lebih memikirkan partainya daripada memikirkan republik ini. Sementara orang yang berkualitas dan mempunyai track record yang baik sering tidak mendapat tempat.

Jika prinsip the right man in the right place dipraktikkan, sekali pun banyak masalah yang dihadapi, maka dia akan cari jalan keluarnya dan dia akan dapat keluar dari masalah itu. Tapi kalau the wrong man in the right place, kendatipun lingkungannya bagus, pembantunya bagus, dan sumberdayanya ada, justru makin menambah masalah baginya. Ini menjadi masalah penting bagi kita dalam mengatasi masalah yang dihadapi.

Kedua, mengapa potensi yang begitu besar tidak dapat kita manfaatkan? Orang Indonesia itu sangat sulit bekerjasama termasuk juga di agribisnis, sementara pekerjaan yang dilakukannya pekerjaan besar. Pemerintah sering sulit bekerjasama dengan swasta. Demikian juga dunia usaha sering sulit bekerjasama dengan petani sekalipun sering dibicarakan tentang kemitraan. Misalnya dalam soal kelapa sawit. Waktu menjadi Menteri Pertanian, saya sudah mengingatkan kepada para pengusaha kelapa sawit bahwa saat itu kita nomor dua di dunia, maka masih bisa mengikuti Malaysia. Sekarang kita sudah menjadi nomor satu di dunia, seharusnya Malaysia yang akan ikut kita. Pertanyaannya siapkah kita?

Sekarang ada Gapki, Dewan Sawit Indonesia, dan lainnya tapi mereka tidak bisa saling ketemu satu sama lain. Karena itu sebagai produsen nomor satu yang seharusnya bisa mengatur harga CPO dunia tapi karena tidak bisa bekerjasama, kita malah diatur negara lain. Dalam bekerjasama juga dibutuhkan leadership tapi kita juga tidak punya karena hal itu terkait dengan the right man in the right place tadi. Demikian halnya dengan kehancuran koperasi petani karena mereka tidak dapat membangun kerjasama yang kuat.

Ketiga, sistem pertanian kita sangat sulit dimodernisasi karena skalanya yang kecil-kecil, memang orang bilang small is beautiful. Tetapi small is not efficient and not competitive. Hal itu terkait juga dengan reformasi agraria. Reformasi agraria baru akan berhasil apabila sebagian besar tenaga kerja di pertanian pindah ke industri dan jasa. Karena itu pembangunan pertanian harus menjadi pembangunan yang terintegrasi dengan industri dan jasa. Yang paling alami perpindahannya adalah pembangunan sistem pangan atau pembangunan sistem dan usaha agribisnis. Di situlah pentingnya jalur utama pembagunan pertanian menjadi strategi pembangunan nasional.

Untung Jaya 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain