Bagian Pertama dari Dua Tulisan
“Jika kita menetapkan pembangunan sistem dan usaha agribisnis menjadi jalur utama pembangunan, maka sektor-sektor lainnya bukan tidak penting tetapi menjadi penopang sistem dan usaha agribisnis,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000–2004, saat diwawancarai AGRINA.
Produksi komoditas pertanian Indonesia sebagian besar masuk kategori lima besar di dunia. Dalam kondisi demikian bisakah Indonesia menjadi food power?
Bisa kalau kita mau. Pertanyaannya, mampukah kita meyakinkan kawan-kawan kita hal itu bisa dan perlu dilakukan? Sebenarnya hal ini sudah 15–20 tahun yang lalu diperdebatkan, dan saya adalah orang yang melihat bahwa pertanian dan pertambangan adalah natural resources yang dapat dijadikan mainstream pembangunan Indonesia.
Memang ada yang salah dalam literartur ekonomi pembangunan setelah Perang Dunia II, perekonomian dibagi dalam tiga sektor, yaitu pertanian, industri, dan jasa. Kemudian sejalan dengan bertumbuhnya perekonomian, porsi sektor pertanian menjadi lebih kecil, industri membesar, dan sektor jasa menjadi lebih besar. Dengan pengelompokan seperti itu, pertanian dan pangan makin lama makin kecil sehingga dianggap tidak penting dan tidak bisa diandalkan lagi.
Seharusnya kita mengembangkan pemikiran bahwa pertanian itu tidak bisa dipisahkan dari hilir, hulu, dan jasa-jasa penunjangnya. Jika dikelompokkan dengan cara seperti itu, maka peranan pertanian, industri hulu, industri hilir, dan jasa penunjangnya dalam PDB bukan 14% (bila hanya pertanian), melainkan 50%. Bila dikaitkan dengan penyerapan tenaga kerja, kalau hanya di pertanian, porsinya 45% dari angkatan kerja tapi setelah ditambah dengan hulu, hilir, dan penunjang lainnya maka bisa menjadi 75%–80%. Ini menunjukkan, sebagian besar tenaga kerja kita itu masih berada pada sistem pangan atau yang biasa saya katakan sistem agribisnis.
Jadi jika sistem agribisnis dikembangkan menjadi mainstream pembangunan, maka bergerak, dia akan menarik dan mendorong semua perekonomian kita. Dengan kata lain, Indonesia membuat sistem pangan atau sistem dan usaha agribisnis menjadi mainstream atau jalur utama pembangunan. Dengan begitu, kita harus menyusun kebijakan dan program yang mendukungnya. Jadi, sistem agribisnis bukanlah salah satu sektor di dalam strategi pembangunan secara keseluruhan tapi dia harus menjadi cluster atau mega sektor. Jika hal itu bisa dilakukan, kita bisa mengklaim bahwa Indonesia dapat menjadi food power dunia yang berbasis pada sistem dan usaha agribisnis tropis.
Mengapa selama ini sistem pangan atau sistem dan usaha agribisnis tidak bisa menjadi jalur utama pembangunan?
Memang bila kita belajar dari krisis yang lalu dan sekarang ini, krisis yang lalu adalah krisis moneter, dan krisis yang sekarang juga krisis moneter walaupun dikaitkan dengan pasar modal. Krisis moneter yang lalu telah merusak seluruh tatanan perekonomian tapi pertanian justru tumbuh dan menjadi penyelamat kita pada saat itu. Tapi sekarang kita lupa bahwa sektor pertanian yang menyelamatkan kita. Saat krisis balik lagi setelah 10 tahun, hanya sektor pasar modal dan moneter yang diperhatikan untuk menyelamatkan perekonomian bangsa ini. Hal itu erat hubungannya dengan paradigma ekonomi secara keseluruhan. Mainstream ekonomi dunia memang dikuasai oleh orang-orang ekonomi moneter.
Saya tidak menyalahkan orang lain tetapi saya menyalahkan profesi saya. Profesi pertanian selama ini terlalu berpikir mikro. Wajar jika selama ini kami hanya embel-embel, sedangkan yang merumuskan ekonomi dan moneter makro ada di tempat lain yang tidak sepenuhnya mengerti mengenai pertanian. Karena itu, sejak sepuluh tahun lalu kita mulai mendidik ekonom-ekonom pertanian yang tangguh dalam ekonomi makro dan moneter sehingga ekonom pertanian itu dapat membuat pertanian sebagai jalur utama pembangunan. Dan di IPB, Bogor, sekarang ini sudah ada Fakultas Ekonomi dan Manajemen yang mendidik pemikir-pemikir ekonomi pertanian yang diharapkan tidak hanya kuat dalam soal-soal mikro tetapi juga makro dan moneter.
Kelahiran pemikir-pemikir ekonomi pertanian secara makro, maka kesempatan kita keluar dengan mainstream ekonomi baru, alternatif pembangunan ekonomi baru, serta alternatif pembangunan negara dan dunia yang baru pula. Karena itu, kita yang berprofesi di pertanian marilah kita berbuat, kita harus bangga pada krisis dulu sektor pertanianlah yang menyelamatkan kita, dan krisis sekarang ini juga sektor pertanian yang akan menyelamatkan kita.
Bagaimana dengan sektor-sektor yang lain?
Jika kita menetapkan pembangunan 15–20 tahun yang akan datang bahwa sistem dan usaha agribisnis sebagai mainstream of development, maka sektor-sektor lainnya bukan tidak penting tetapi menjadi penopang sistem dan usaha agribisnis. Apabila kita membuat pangan atau sistem dan usaha agribisnis menjadi tulang punggung pembangunan kita, maka kebijakan dan program pemerintah akan diarahkan ke situ, infrastruktur dan kelembagaan yang dibangun juga diarah ke situ. Jangan seperti pada waktu lalu pembangunan pertanian, pembangunan infrastruktur dan kelembagaan, serta pengalokasian pembiayaan pembangunan tidak diarahkan ke arah yang saling menopang satu sama lain.
Untung Jaya