Namanya cukup dikenal di kalangan pebisnis peternakan. Wajar saja, Sugeng Pujiono sudah mengabdikan dirinya selama 20 tahun di PT Sanbe Farma, salah satu perusahaan vaksin dan obat-obatan hewan terkemuka di negeri ini yang berbasis di Bandung. Belakangan Sugeng juga berkiprah di PT Caprifarmindo Labs Divisi Veteriner, perusahaan vaksin hewan yang masih satu grup dengan Sanbe. Kedua perusahaan tersebut mempercayainya sebagai Marketing Manager.
Gigih Berjuang
Perjuangan Sugeng sampai ke posisinya sekarang sungguh tak mudah. Jauh sebelumnya, Sugeng remaja mulai merintis jalan dengan mengajar di sebuah tempat bimbingan belajar (bimbel) bernama Surabaya Intelektual Club (SIC). Aktivitas itu dilakukannya sejak duduk di bangku SMA I Gresik hingga masuk Fakultas kedokteran Hewan, Universitas Airlangga di Surabaya.
Tidak hanya sekadar mengajar, Sugeng yang waktu itu masih berusia 17 tahun juga mencari sendiri murid dan memperkenalkan lembaganya tersebut. “Saya juga menyebarkan brosur-brosur ke beberapa tempat,” kenangnya saat berbincang dengan AGRINA di sela kesibukannya. Lucunya, kebanyakan murid yang diajarnya lebih tua.
Suami Elizabeth Dahlan ini mengaku, awal hidupnya dimulai dari sana. Karena dari pekerjaan tersebut dia mampu membiayai hidup dan kuliah. "Saya mengajar di sana dari awal. Itulah yang membuka pikiran, membangun, dan mengedukasi saya hingga seperti sekarang ini," ujar alumnus FKH Unair 1988 ini.
Pilihan Sugeng untuk mengajar matematika di bimbel memang tidak ada hubungannya dengan tempatnya menimba ilmu kedokteran hewan. “Bukan tanpa alasan saya melakukan ini, keterpaksaan menjalaninya untuk mencari uang agar bisa membiayai kuliah,” kata ayah Felisia Puji Ambarwati dan Mario Puji Satrianto ini tak sungkan mengungkap masa lalunya.
Mengajar dan mengenalkan lembaganya sendiri terasa belum cukup bagi Sugeng muda. Karena itu ia memutuskan untuk merambah lembaga bimbel lainnya di Surabaya. Jabatannya pun merangkak hingga diberi tanggungjawab untuk menjadi koordinator pengajar di lembaga tersebut. Pria asli Gresik ini pun pun mulai belajar ilmu pemasaran bagaimana mendapatkan peserta bimbel dan mempertahankan loyalitas siswanya.
Tidak puas dengan satu pekerjaan, lagi-lagi Sugeng mencoba peruntungan di sebuah perusahaan farmasi yang juga menjadi pesaing tempatnya bernaung sekarang ini. “Saya juga menjadi detailer hingga lulus kuliah,” tutur penyuka badminton, baca buku, dan refreshing bersama keluarga ini.
Bekerja Keras, Cerdas, Ikhlas, dan Jujur
Sifat pantang menyerah dalam bekerja dan berusaha akhirnya selalu tertanam dalam diri Sugeng. "Kita harus kerja keras, ikhlas, cerdas, smart, dan jujur," tandasnya. Karena itu, pria kelahiran 20 November 1963 ini, tidak mau menyia-siakan seluruh tanggung jawab dari perusahaan yang harus diembannya sekarang. "Kita harus be the best untuk perusahaan. Karena itu saya juga harus bisa membesarkan perusahaan ini. Jika tidak, berarti saya telah gagal," lanjutnya.
Loyalitas pembaca buku Zen Wisdom, Emotional Intelligence, dan The Seven Habits ini terhadap perusahaan tempat bekerja dia sekarang tak perlu diragukan lagi. Dua dekade sudah cukup bagi pemilik perusahaan untuk menilai komitmen Sugeng. Dia pun menyambut kepercayaan yang telah diberikan perusahaan untuk mengatur divisi veteriner dan akuakultur.
Dalam berkarya, dia menganut filosofi, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Harapannya yang begitu besar untuk bisa membesarkan Sanbe terlihat dalam setiap langkahnya. Ia juga menambahkan, “Saya punya anak dan istri yang juga punya harapan pada saya. Jadi, all out dalam bekerja, itu suatu keharusan.”
Manfaatkan Potensi Domestik
Berbincang mengenai perkembangan bisnis,terutama akuakultur, saat ini, Sugeng dengan mantap mengatakan, usaha budidaya perikanan merupakan industri paling pesat di dunia. Laju pertumbuhannya lebih dari 10% per tahun. Pertumbuhan dan potensi tersebut akan terus membesar jika tidak terjadi kegagalan pada teknis budidayanya. “Penyebab kegagalan selama ini adalah wabah penyakit yang bisa menimbulkan kematian massal dan merugikan jutaan rupiah,” katanya.
Untuk menanggulangi itu tidak ada kata lain kecuali pemberian obat-obatan dan berbagai suplemen agar komoditas yang dibudidayakan memiliki imunitas terhadap serangan bakteri dan virus. Pemberian antibiotik bisa mengatasi masalah tersebut. Namun, saat ini, penggunaan antibiotik sudah mulai dilarang di negara-negara maju dan berkembang termasuk di Indonesia.
Salah satu harapan para pembudidaya perikanan adalah aplikasi vaksin dan probiotik. Sayangnya, tambah Sugeng, vaksin dan probiotik yang beredar kebanyakan produk-produk impor. "Jika impor, tentu harganya menjadi mahal. Apalagi dengan krisis global seperti sekarang, sedikit banyak akan berdampak terhadap harganya,” katanya. Tambahan lagi, banyak temuan dan fakta di lapangan beberapa produk vaksin dan probiotik impor tersebut tidak memberikan efek pada kesehatan dan kualitas air budidaya.
Hal tersebut, menurut pendapat Sugeng, lantaran isolat yang digunakan tidak sesuai dengan karakteristik lingkungan budidaya di Indonesia. Inilah tantangan ke depan bagi bangsa ini untuk mengembangkan vaksin dan probiotik lokal. Kita toh sangat kaya dan berlimpah bahan baku pembuatan vaksin dan probiotik tersebut. "Kenapa kita harus impor jika kita punya bahan baku dan bisa membuatnya sendiri," tukasnya. Ia yakin, dengan kekuatan sendiri dan bahan-bahan lokal, kualitas produk Indonesia akan lebih bagus, bahkan mampu bersaing dengan negara-negara Asean lainnya.
Tri Mardi Rasa