“Pada suatu seminar di bidang perkelapasawitan di London bulan lalu, suatu perusahaan multinasional karena desakan LSM mengusulkan agar dilakukan moratorium atau penghentian perluasan kebun kelapa sawit di dunia,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000–2004, saat diwawancarai AGRINA.
Mengapa mereka menuntut moratorium kelapa sawit?
Mereka beralasan, belakangan ini karena keuntungan yang sangat besar dari produksi kelapa sawit, maka perluasan kelapa sawit berkembang sangat pesat. Dan menurut mereka, perluasan kelapa sawit itu telah merusak hutan tropis yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dan kehilangan biodiversity, terutama orangutan yang langka. Hal itulah menurut mereka tidak dapat ditolerir dan moratorium harus segera dilakukan.
Memang areal kelapa sawit belakangan ini berkembang sangat pesat, terutama di Indonesia. Pada akhir 1970-an arealnya baru sekitar 350 ribu ha. Pada 2000 sudah 2 juta ha dan tahun lalu mencapai 7 juta ha. Namun jika dibandingkan luas daratan Indonesia sekitar 198 juta ha yang di dalamnya terdapat sekitar 160 juta ha hutan tropis, maka lahan kelapa sawit sebenarnya masih sangat kecil.
Kalaupun ada kerusakan hutan, hal itu lebih banyak disebabkan oleh illegal logging, perladangan berpindah-pindah, dan kebakaran hutan. Selain itu, kerusakan hutan disebabkan situasi kemiskinan di dalam dan sekitar hutan tropis. Jadi, moratorium tidak akan menghentikan kerusakan hutan tropis jika penyebab-penyebab lain terutama kemiskinan tidak ditanggulangi.
Lebih lanjutnya mengenai komentar dari Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M. Ec, bisa dibaca di Tabloid AGRINA versi Cetak volume 4 Edisi No. 88 yang terbit pada Rabu, 15 Oktober 2008.