Pertanian tanaman pangan Indonesia pada 2008 ini diawali kabar gembira, bahwa kita berhasil swasembada beras, dan untuk sepenuh tahun, pencapaian produksinya bisa 61 juta ton (GKG). Kisah-kisah sukses lainnya muncul beruntun dari bulan ke bulan. Produksi gula nasional dideklarasikan sudah mengatasi permasalahan konsumsi rumahtangga. Produksi jagung juga melonjak tajam, panen kedelai sudah semakin mendekati pemenuhan kebutuhan kita makan tempe, tahu, dan saus kecap.
Mentan Anton Apriyantono makin menggirangkan hati kita dengan pernyataannya, produksi beras tahun depan akan mencapai 64 juta ton (GKG) dan jagung 18 juta ton. Pencapaian ini dengan distribusi benih gratis dan pupuk bersubsidi. Pemerintah tahun depan mengalokasikan dana Rp10,74 triliun untuk pengadaan pupuk murah dan Rp904 miliar untuk benih. Data Deptan menunjukkan, selama empat tahun terakhir, komoditas karet, kelapa sawit, jambu mete, kakao, dan kopi makin tangguh di pasar dunia.
Namun perasaan bungah itu tersedak oleh berita Indonesia sebenarnya sudah terkena food trap. Dikatakan masuk ke “perangkap pangan” karena bahan pangan pokok kita, baik yang biji-bijian, hortikultura sampai kepada unggas, telur, daging dan susu, benihnya, tetuanya (great grand parent stock) atau bakalannya bergantung dari luar. Bahwa tidak cukup tersedia benih unggul asli atau persilangan lokal, atau pemuliaan sendiri, untuk modal berdikari dan berdaulat atas pangan. Sejumlah komoditas memang menggunakan benih dalam negeri, tapi itu milik perusahaan multinasional yang berlokasi di Indonesia. Wapres Jusuf Kalla mengakui riset dan penelitian komoditas pertanian kita masih lemah dan harus diperkuat.
Hampir berbarengan dengan itu, publik dibuat miris oleh berita tentang ketegaan sebuah perusahaan swasta yang mengelabui petani dengan benih belum teruji. Benih Super Toy HL-2 yang ditanam di lahan seluas 90 ha di Purworejo, Jateng, itu jelas-jelas melanggar Undang Undang No. 12/1992 yang mengatur tentang pelepasan suatu varietas dan persyaratan Departemen Pertanian tentang uji coba tanaman. Kejadian itu juga memilukan karena petani berhasil disesatkan oleh imingan palsu dan dikecoh dengan pencitraan bahwa Presiden dan Ibu Negara merestui “benih super” itu. Hasil Super Toy HL-2 jauh tidak sebanding dengan harga benihnya yang jauh lebih mahal daripada varietas unggul (Ciherang) yang biasa mereka tanam.
Menanggapi masalah food trap dan melepaskan ketergantungan benih, Menteri Pertanian akan memaksa swasta di dalam negeri untuk memproduksi sendiri benih berbagai tanaman dalam waktu dua tahun mendatang. Namun masalah ketiadaan benih sendiri, kemiskinan riset, dan penggunaa benih palsu, bukanlah cerita baru. Kedelai, contoh paling sempurna, tentang varietas lokal kedelai hitam yang tersisih oleh kedelai putih dari AS yang dimasukkan ke Indonesia dengan harga lebih murah dan fasilitas kredit menggiurkan. Dan ketika kedelai Amerika itu menjadi langka dan mahal, kita mendapati pertanaman kedelai hitam lagi.
Kita punya 622 satuan kerja riset tersebar di perguruan tinggi negeri dan swasta, di departemen dan lembaga non-departemen, di lembaga penelitian daerah, di BUMN dan lembaga swasta. Namun tumpang tindih dan memboroskan tenaga, waktu dan anggaran, karena sejumlah satuan kerja tanpa koordinasi dan sinergi melakukan sendiri-sendiri penelitian atas barang yang sama. Pemerintahan Orde Baru “memberhalakan” beras, dan mengesampingkan diversifikasi pangan. Padahal tanah kita kaya akan sumber pangan pengganti beras yang gurih dan asupan gizinya juga tinggi.
Dan tentang Super Toy HL-2 itu, AGRINA telah mewaspadainya jauh sebelum skandalnya diramaikan media massa umum. Dwimingguan ini, pada edisinya yang ke-80, 11 Juni lalu telah mempertanyakan keunggulan benih padi tersebut, melalui tulisan seorang pemulia padi di Bogor, Dr. Buang Abdullah. Untuk membangkitkan kewaspadaan umum, Redaktur Pelaksana kami pun telah menghubungi salah seorang Ketua Partai Demokrat yang kebetulan juga guru besar pertanian, dan salah seorang staf khusus dan jurubicara Presiden RI, Andi Mallarangeng. Prof. Jafar Hafsah yang Ketua Partai Demokrat itu, menanggapinya dengan tertawa. Andi Mallarangeng tidak memberikan respon melalui ponselnya.
Daud Sinjal