”Beberapa aspek teknis menunjukkan tingginya peran air dalam kegiatan produksi agribisnis. Sebagai contoh, produk hortikultura, seperti buah dan sayuran, kandungan airnya lebih dari 60%. Jadi diperlukan teknologi pada on-farm yang hemat air,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000– 2004, saat diwawancarai AGRINA.
Seberapa penting peran air pada agribisnis?
Air memainkan peran vital pada proses produksi komoditas agribisnis, baik di on-farm maupun agribisnis hilirnya untuk keperluan pascapanen, seperti pembersihan produk. Dalam hal ini, sedemikian pentingnya posisi air dalam proses produksi agribisnis, maka daya saing agribisnis yang salah satunya dicerminkan oleh tinggi rendahnya biaya dan harga jual akan juga ditentukan dari tingkat efisiensi dan efektivitas penggunaan air.
Bagi sektor pengairan sendiri, penempatan kebijakan pengembangannya sebagai bagian dari suatu strategi pembangunan yang lebih besar merupakan hal sangat penting. Hal ini mengingat sebagian dari pengertian pengairan adalah sumberdaya dan sarana produksi bagi kegiatan ekonomi. Pengembangan pengairan bukan merupakan tujuan akhir tetapi menjadi sarana bagi pengembangan kegiatan ekonomi tersebut sehingga keberhasilan pengairan akan dilihat dari keberhasilan kegiatan yang didukungnya. Seperti melihat keberhasilan dukungan irigasi terhadap peningkatan produksi padi. Dalam hal ini pengairan dan agribisnis mempunyai hubungan yang tak terpisahkan.
Esensi dari agribisnis baik dalam pengertian sistem maupun perusahaan adalah bisnis. Dengan demikian, setiap input yang digunakan dan output yang dihasilkan harus dikelola secara bisnis. Hal tersebut juga berlaku bagi air sebagai sarana produksinya sehingga aspek efisiensi dan efektivitas menjadi faktor yang sangat menentukan.
Hal apa yang perlu diperhatikan berkaitan dengan efisiensi dan efektivitas pengairan tersebut?
Pertama, efisiensi pemanfaatan. Selama ini pola pemanfaatan air cenderung dilakukan seolah air tidak terbatas dan costless. Diperlukan peningkatan kesadaran akan pentingnya penetapan biaya atas air dalam proses pemanfaatannya. Di lain pihak pola pemanfaatan air cenderung dipandang sebagai single-purpose, padahal seharusnya dapat dioptimalkan secara multi-purpose, seperti irigasi, rumahtangga, dan pariwisata. Memang, jika biaya air hanya dibebankan pada satu kegiatan, maka biayanya akan terlalu mahal sehingga menjadi beban.
Kedua, efisiensi distribusi. Basis sistem pengairan di Indonesia didominasi sistem irigasi sawah melalui aliran permukaan. Sudah waktunya dikembangkan sistem distribusi air yang lebih efisien dan lebih meningkatkan ketersediaan air riil. Sistem saluran tertutup atau teknologi lain dalam penyaluran air, sudah waktunya untuk dikembangkan secara lebih serius.
Ketiga, efisiensi pengadaan dan pelestarian. Ketersediaan air semakin lama, semakin menipis. Fluktuasi ketersediaan air antarwaktu merupakan gejala yang semakin lama membutuhkan perhatian serius. Oleh karena itu, sistem penyimpanan air perlu ditingkatkan efisiensinya. Demikian pula aspek-aspek pelestarian sumber-sumber air menjadi hal yang semakin vital.
Keempat, produktivitas air. Sistem pengairan yang dibangun selama ini, terutama berdasarkan pada sistem irigasi sawah. Padahal banyak agribisnis lain yang mampu memberi nilai produktivitas yang lebih tinggi, seperti hortikultura, peternakan, dan perikanan. Pola pengairan yang dibutuhkan oleh agribisnis nonsawah tersebut berbeda. Jika diarahkan pada pilihan kegiatan agribisnis yang tepat dengan menggunakan pola dan teknologi distribusi yang tepat pula, produktivitas air akan meningkat.
Singkatnya, kebijakan pengairan dalam agribisnis pada satu sisi untuk menciptakan efisiensi pemanfaatan, distribusi, pengadaan, dan pelestarian sesuai jenis agribisnis yang dilayani, dan di sisi lain untuk mendorong perkembangan agribisnis yang hemat air.
Apa yang harus dilakukan untuk mendukung hal tersebut?
Untuk mendukung hal tersebut, diperlukan reformasi mendasar dalam pengelolaan dan pembangunan pengairan, yaitu dari kebijakan dengan pendekatan yang sentralistik menjadi desentralistik. Dari orientasi pada pemerintah menjadi partisipasi masyarakat lokal. Dari pola pengembangan yang berciri mega proyek menjadi proyek yang dikelola oleh sumberdaya lokal. Dan dari pembiayaan bersubsidi besar menjadi pembangunan dengan rasionalisasi biaya.
Aspek-aspek ini harus menjadi wajah masa depan dari kebijakan pengairan, dan menjadi tantangan yang harus segera dijawab oleh siapapun pengelola dan penentu kebijakan pengairan kelak.
Memang hal tersebut membutuhkan mandat lebih besar dari yang dimiliki lembaga yang sekarang ada. Untuk itu suatu lembaga koordinatif, apapun namanya, mungkin menjadi alternatif agar menghasilkan kebijakan dan pelaksanaan pembangunan pengairan yang lebih sesuai dengan perkembangan dan tuntutan keadaan.
Untung Jaya