PBB menetapkan 2008 sebagai tahun kentang internasional, “International Year of Potatoes 2008” (IYP 2008). Dunia pun menyambutnya, bahkan sampai meluber ke 2009. India mengawali dengan International Potato Expo di Kolkata, 9 Januari 2008, dan rangkaian agenda IYP 2008 akan berakhir 22 Maret 2009 dengan acara 7th World Potato Congress di Christchurch, Selandia Baru.
Kanada dan Italia adalah negara-negara yang paling bergairah, di sana berlangsung nyaris sepanjang tahun, masing-masing dengan 11 acara di 11 tempat. Disusul Amerika Serikat dengan 10 acara. Indonesia menanggapi IYP 2008 dengan penyelenggaraan Pekan Kentang Nasional pada 20—23 Agustus 2008 yang akan mengambil tempat di Kompleks Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa), Lembang, Bandung, Jabar.
Mengapa kentang? Karena umbi ini sumber pangan nomor empat, setelah beras, gandum, dan jagung. Dan tidak seperti ketiga bahan dari biji-bijian tadi, kentang tidak diperebutkan untuk pakan ternak dan bahan bakar. Ia tidak terlibat silang-sengkarut perdagangan global, maka harganya pun ditentukan lokal.
Kentang ditabalkan menjadi food of the future karena ia andalan untuk ketahanan pangan, serta bagi sistem usahatani yang saling menguntungkan produsen maupun konsumennya. Kentang dimakan umat manusia seantero dunia, miskin dan kaya. Ia kaya karbohidrat dan 85% tanamannya bisa dimakan. Kentang lebih hemat areal lahan, lebih tahan perubahan iklim, lebih cepat panen. Menanamnya pun lebih mudah dan murah.
Di bawah logo IYP 2008 tertulis kalimat “Hidden Treasure” karena orang kurang pirsa bahwa di banyak negeri berkembang, kentang ternyata menjaga ketersediaan pangan dan mengentaskan kemiskinan. Tidak banyak orang tahu pertumbuhannya dalam dasawarsa terakhir rata-rata 4,5% setahun dan produksinya pada 2007 telah mencapai rekor 320 juta ton. Diam-diam, sejak 2005 produksi kentang dunia ketiga telah melampaui produksi negara-negara maju. Kini Asia nyaris memakan setengah pasokan kentang dunia, kendati oleh besaran jumlah penduduknya, konsumsi per kapitanya masih rendah, 25,8 kg (2005). Bandingkan dengan konsumsi per kapita orang Eropa yang 95,7 kg dan orang Amerika Utara yang 57,6 kg.
Tepatlah tema “Kentang sebagai Alternatif Diversifikasi Pangan” yang digaungkan pada Pekan Kentang Nasional 2008 (PKN 2008) di Lembang. Juga tujuannya untuk alih teknologi hasil penelitian Balitsa bagi para penggunanya. Kepala Balitsa Firdaus Kasim mengatakan, PKN 2008 juga merupakan sarana untuk menggali kemungkinan kemitraan pengembangan kentang, baik nasional maupun internasional, dengan instansi pemerintah, mitra swasta, petani, dan stakeholder lainnya. Balitsa mengharapkan pula masukan untuk perbaikan program penelitian dan diseminasi teknologi tanaman kentang serta sayuran lainnya.
Ajang di Lembang tersebut, yang akan dihadiri pejabat-pejabat pemerintahan, baik pusat maupun daerah, fungsionaris lembaga internasional (CIP dan ACIAR), kalangan akademisi, praktisi agribisnis (petani, pengusaha swasta dan BUMN), LSM, pelajar, mahasiswa, menjadi penting bukan saja untuk membuka kesadaran kita tentang pentingnya peranan kentang dan tanaman hortikultura lainnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan petani. Tapi juga untuk menyadarkan bahwa masyarakat dunia sekarang ini telah mengedepankan kentang untuk melawan kerawanan pangan masa kini dan mendatang. Bahwa masyarakat di banyak negara berkembang sudah bersikap lebih pragmatis: beralih dari suatu jenis makanan pokok ke jenis lainnya. Bahwa dua dasawarsa lagi penduduk dunia akan bertambah 100 juta dan lebih 95%-nya berada di negara negara berkembang yang lahan dan sumberdaya airnya makin menyusut.
Selaras tema PKN 2008, kentang memang cocok sebagai alternatif diversifikasi pangan. Apalagi buat negara-negara berpenduduk besar, seperti China, India, atau Indonesia. China, India, juga Bangladesh telah memprioritaskan kentang sebagai tanaman pangan dan akan melipatgandakan panenannya. Kentang memang cocok ditanam di negeri yang lahan pertaniannya makin sempit, tapi tenaga manusianya berlimpah. Kentang memang cocok bagi kondisi Indonesia yang kebetulan juga masih memiliki jutaan keluarga miskin dan menghadapi risiko rawan pangan.
Daud Sinjal