“Dewan Minyak Sawit Indonesia harus direvitalisasi agar lebih agresif untuk melakukan kampanye menjawab antiminyak sawit karena informasi yang tidak benar, dan membina perusahaan-perusahaan kelapa sawit agar membangun dengan cara berkelanjutan,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000–2004, saat diwawancarai AGRINA.
Bagaimana kondisi perkelapasawitan Indonesia saat ini?
Tahun lalu areal kelapa sawit Indonesia sudah mencapai sekitar 6 juta ha. Kita sudah menjadi produsen sawit terbesar di dunia, kendati pun belum termasuk eksportir sawit terbesar di dunia karena konsumsi sawit di dalam negeri cukup tinggi. Dan sawit sudah menjadi komoditas ekspor utama Indonesia di luar migas. Hal itu diperkuat lagi oleh harga sawit yang meningkat tahun-tahun belakangan ini. Dan yang menarik lagi dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit itu lebih dari sepertiga areal adalah milik rakyat.
Kelapa sawit telah menjadi sumber pertumbuhan sekaligus juga sumber pemerataan ekonomi. Sawit merupakan success story dalam perekonomian Indonesia sejak krisis moneter yang lalu. Tapi di balik success story itu kritik mengenai pengembangan sawit Indonesia dari pihak-pihak internasional dan LSM dalam negeri semakin kuat. Perkembangan sawit yang begitu cepat selalu dikaitkan sebagai penyebab dari kerusakan hutan tropis di Indonesia dan pembangunan yang tidak berkelanjutan. Namun tuduhan-tuduhan itu kendati pun kadangkala mengena tetapi sering tidak didasarkan pada fakta-fakta dan realita yang ada.
Luas areal Indonesia sekitar 196 juta ha, sebagian besar masih merupakan areal hutan, sedangkan areal kelapa sawit baru sekitar 6 juta ha. Jadi, kurang tepat jika pengurangan hutan tropis dituduhkan pada perkembangan areal sawit karena areal sawit hanya 3% dari areal daratan Indonesia. Pantaskah areal yang 3% dikatakan merusak hutan Indonesia? Pengembangan areal kelapa sawit memang mengambil sebagian areal hutan, tapi areal hutan yang diambil untuk pengembangan kelapa sawit itu adalah areal hutan konversi. Secara legal, hutan konversi telah dikukuhkan melalui undang-undang untuk dipersiapkan bagi kepentingan nonhutan, seperti pertanian, pertambangan, dan pemukiman.
Jadi pengembangan kebun kelapa sawit tidak merusak hutan?
Pembangunan areal kelapa sawit boleh dikatakan hanya di lahan pertanian dan lahan hutan konversi. Tidak dimungkinkan untuk mendapatkan izin pembangunan kebun kelapa sawit di areal hutan. Namun kadang-kadang di areal hutan konversi itu masih ada hutan dan banyak biodiversity dalam bentuk satwa dan tumbuhan.
Tambahan pula kebun kelapa sawit harus dibangun mengikuti kaidah-kaidah pembangunan yang berkelanjutan. Jadi pembangunan kebun kelapa sawit sebenarnya tidak boleh dikatakan sebagai penyebab kerusakan hutan, apalagi penyebab utama kerusakan hutan Indonesia. Memang hutan kita belakangan ini mengalami tekanan yang luar biasa dahsyatnya yang paling utama disebabkan oleh illegal logging, kebakaran hutan, dan pertambangan dalam skala sangat luas.
Tapi memang harus diakui, adakalanya pembangunan kebun kelapa sawit memasuki areal hutan karena salah pemberian izin. Dan adakalanya juga tidak mengikuti kaidah-kaidah keberlanjutan, sebagai contoh membangun koridor dari lahan yang dibuka ke areal hutan. Namun itu adalah pengecualian, bukanlah gambaran umum.
Jadi, apa yang menyebabkan adanya tuduhan-tuduhan tersebut?
Barangkali tuduhan mengenai kelapa sawit yang merusak hutan dan dibangun secara tidak berkelanjutan ada kaitannya dengan keadaan persaingan dalam dunia perminyakan nabati. Kelapa sawit adalah tanaman yang paling unggul dibandingkan tanaman lain, seperti kedelai, rape seed, dan bunga matahari dalam menghasilkan minyak per satuan waktu dan per satuan luas areal. Sumber minyak nabati yang lain kalah bersaing dengan kelapa sawit. Jika dulu kelapa sawit disebut tidak sehat sebagai bahan makanan dan tidak terbukti, maka sekarang tuduhannya beralih ke perusakan hutan tropis dan pembangunan yang tidak berkelanjutan.
Bagaimana sebaiknya sikap Indonesia menghadapi tuduhan tersebut?
Tuduhan-tuduhan itu menjadi seolah-olah benar karena masyarakat sawit Indonesia dan pemerintah Indonesia tidak melakukan kampanye yang proaktif mengenai situasi industri minyak sawit Indonesia sebenarnya. Perusahaan agribisnis kelapa sawit kita tercerai-berai dan sulit menyatukan sikap, langkah, apalagi aksi bersama untuk mempertahankan dan menjelaskan posisinya.
Pada 2003 sudah dibuat Komisi Minyak Sawit Indonesia dan belakangan diperkuat lagi menjadi Dewan Minyak Sawit Indonesia dengan payung hukum UU Perkebunan No. 12 Tahun 2004. Namun kiprahnya dalam kampanye menjawab antisawit ini belum cukup memadai. Hal ini akan sangat berbahaya kalau produksi kelapa sawit dalam negeri terus meningkat, sedangkan pemboikotan yang dilakukan negara-negara konsumen terus berlanjut. Oleh karena itu, Dewan Minyak Sawit Indonesia harus direvitalisasi agar lebih agresif untuk melakukan kampanye menjawab antiminyak sawit karena informasi yang tidak benar dan membina perusahaan-perusahaan kelapa sawit agar membangun dengan cara berkelanjutan.
Untung Jaya