Sebagai tuan rumah, kami selayaknya bangga karena pernyataan resmi tentang rekor baru produksi jagung Indonesia pertama kali diungkapkan di depan acara seminar nasional AGRINA sekaligus perayaan HUT ke-3 dwimingguan ini. Memberi keynote speech pada seminar 28 Mei 2008 tersebut yang diberi tajuk “Peranan Jagung dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan”, Menteri Anton Apriyantono mengungkapkan tahun 2008 ini produksi jagung naik hingga 20%, mencapai total produksi 15,9 juta—16,5 juta ton. Ini merupakan peningkatan jauh dari tahun lalu yang 13,26 juta ton.
Sebulan lebih kemudian, 1 Juli 2008, barulah Badan Pusat Statistik mengumumkan perkiraan produksi jagung dengan angka ramalan II (ARAM II) sebesar 14,85 juta ton pipilan kering. Dibandingkan produksi 2007 (ATAP), terjadi kenaikan sebanyak 1,57 juta ton atau sebesar 11,79%. Dirjen Tanaman Pangan, Deptan, Sutarto Alimoeso yang berbicara pada panen perdana jagung hibrida di Kawasan Industri Pupuk Kujang 12 Juli lalu, optimistis produksi jagung tahun ini meningkat sampai 4 juta ton pipilan kering.
Sukses ini meneruskan rekor yang telah dicapai tahun lalu. Produksi jagung pipilan kering sepanjang 2007 mencapai 13,287 juta ton atau naik 14,45% dari 11,6 juta ton capaian produksi 2006. Peningkatan produksi tersebut berkat penanaman benih hibrida yang mampu menghasilkan 4—4,2 ton per hektar. Juga melalui perluasan areal lahan, terutama lahan kering, serta pemanfaatan lahan-lahan perkebunan milik swasta maupun Perhutani atau Inhutani. Menteri Pertanian mengatakan, Indonesia bisa menjadi net eksportir jagung. Mengingat kebutuhan dalam negeri yang hanya 8,13 juta ton. Dengan demikian, terdapat kelebihan 7,5 juta—8,5 juta ton. Bila kelebihan tersebut diserap 2 juta ton untuk kebutuhan lain dalam negeri, maka masih terdapat 5 juta ton yang bisa diekspor.
Namun di tengah-tengah cerita bagus tentang jagung itu, masih saja terselip keluhan kronis pengusaha unggas dan pakan unggas. Kalangan industri pakan belum cukup diyakinkan bahwa panen yang bagus itu menjamin ketersediaannya yang stabil, berkesinambungan sepanjang waktu. Belum lagi bicara standar kualitasnya. Kalau selama ini industri pakan lebih suka mengimpor jagung karena memang tidak mau repot, seperti pernah dikatakan Anton J. Supit dari Gabungan Perusahaan Perunggasan Indonesia, “mendatangkan jagung dari Houston lebih cepat ketimbang dari Lampung”. Namun, sekarang, dengan harga internasional yang begitu melambung, pengadaan jagung untuk pakan tidak bisa lagi dibilang enteng.
Di depan seminar AGRINA, Menteri Pertanian mengakui terdapat kesenjangan antara daerah penghasil dan pengguna jagung di Indonesia. Kestabilan pasokan dan harga pasti lebih terjamin bila daerah produsen jagung juga menjadi daerah produsen pakan. Sejauh ini, pemerintah telah membangun 56 silo (tempat pengeringan dan penyimpanan jagung). Di Indonesia terdapat puluhan pabrik pakan baik yang skala besar maupun yang mini feedmill. Yang swasta besar punya silo sendiri. Keberadaan silo sungguh penting karena dalam tempat pengeringan dan penyimpanan itu jagung bisa tahan sampai berbulan.
Pertanyaannya, apakah 56 silo dan 38 mini feedmill yang dibangun pemerintah itu terintegrasi atau dekat dengan produsen jagung? Apakah daya tampung silo dan feedmill-nya memadai dengan jumlah produksi jagung yang ratusan ribu sampai jutaan ton.
Dengan ketersediaan jagung yang bersinambung, kita bisa menentukan mau diapakan surplus 2008. Dijadikan iron stock atau diekspor. Prospek jagung di pasar dalam negeri dan internasional begitu menjanjikan. Kalau tidak, mengapa korporasi-korporasi besar mau mempertaruhkan duitnya di kebun itu. Dirjen Tanaman Pangan mengatakan, hingga 2017 harga jagung akan bertahan mahal. Ini dipicu oleh tingginya permintaan jagung sebagai bahan baku bioetanol di AS, Uni Eropa, dan China, di samping oleh meningkatnya kebutuhan komoditas tersebut untuk pakan ternak dan industri makanan. Data Deptan AS menunjukkan, pertumbuhan konsumsi jagung dunia lima tahun terakhir mencapai 2,7% atau melampaui tingkat pertumbuhan produksi sekitar 1,7%. Tahun ini, produksi jagung dunia ditaksir 778 juta ton, sementara kebutuhannya diperkirakan 788 juta ton.
Daud Sinjal