“Sejarah menunjukkan bahwa kita pernah menjadi eksportir gula terbesar di dunia, masa Hindia Belanda sampai 1960-an. Setelah itu lambat laun berubah menjadi importir, dan makin lama impor makin besar,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000–2004, saat diwawancarai AGRINA.
Kenapa hal tersebut bisa terjadi?
Pada masa kolonial, posisi eksportir utama dapat diperoleh dengan mudah karena adanya kebijakan dan program pemerintah yang komprehensif dan konsisten satu sama lain. Sejak nasionalisasi, kebijakan seperti itu tidak dipertahankan, bahkan tercerai-berai menjadi kebijakan-kebijakan di bidang pergulaan nasional yang bersifat sektoral dan regional. Keadaan ini membuat produksi dan produktivitas gula nasional semakin menurun. Selain itu, pertambahan penduduk Indonesia dan peningkatan konsumsi gula per kapita yang sangat pesat. Kesulitan pergulaan nasional makin bertambah karena perdagangan internasional yang semakin tidak adil pada produk-produk pertanian termasuk gula. Industri gula disubsidi dan diproteksi oleh negara-negara penghasil gula.
Bagaimana keadaan pada masa pemerintahan yang lalu?
Pertama-tama kita mengoreksi kebijakan-kebijakan di bidang pergulaan nasional menjadi kebijakan pergulaan nasional yang komprehensif dan konsisten satu sama lain. Kebijakannya adalah kebijakan proteksi dan promosi. Proteksi dari perdagangan internasional yang tidak adil, kebijakan tarif, larangan impor pada musim giling, dan larangan penambahan impor raw sugar. Dan kebijakan promosi dilakukan untuk peningkatan produktivitas agar daya saing dapat ditingkatkan. Promosi di antaranya subsidi bongkar ratoon, subsidi pupuk, subsidi bunga kredit, dan perbaikan jaringan irigasi.
Untuk menghasilkan kebijakan tersebut, peranan Dewan Gula Indonesia (DGI) diperkuat dengan keanggotaan yang tidak hanya dari instansi pemerintah terkait tetapi juga organisasi pengusaha dan petani tebu. Dan yang lebih penting adalah memperkuat dan memberdayakan organisasi petani untuk peningkatan produksi dan produktivitas. Selain itu, memfasilitasi kerjasama yang baik antara organisasi petani dengan para pengusaha agribisnis gula.
Dan pada saat itu sudah dicanangkan swasembada gula pada 2007. Yang dimaksud dengan swasembada gula adalah tersedianya gula untuk kebutuhan rumah tangga dan industri dari hasil produksi dalam negeri tanpa importasi raw sugar sama sekali.
Bagaimana keadaannya sekarang?
Keadaan sekarang ini kembali lagi pada keadaan seperti masa sebelum dan semasa krisis moneter yang lalu. Kebijakan pergulaan nasional kembali menjadi banyak kebijakan di bidang pergulaan nasional. Kendatipun semua setuju target nasional adalah swasembada gula tapi kebijakan dan program masing-masing departemen tidak mengarah pada tujuan itu, bahkan sering satu sama lain saling bertentangan.
Sebagai contoh, Deptan punya target swasembada gula dengan upaya peningkatan produksi gula nasional tetapi Departemen Perindustrian justru mengembangkan gula rafinasi dalam negeri dengan bahan baku raw sugar impor. Dan Deptan memberi insentif pada peningkatan produksi tapi Departemen Keuangan memberi disinsentif dengan mengurangi pajak impor. Selain itu, para petani dan pengusaha berusaha mendapatkan harga yang lebih menguntungkan tapi Departemen Perdagangan tidak mengontrol rembesan gula rafinasi ke pasar yang mengakibatkan harga gula menjadi turun.
Penyebab utama dari hal ini adalah kurang berfungsinya DGI sebagai clearing house untuk perumusan kebijakan dan program yang komprehensif dan konsisten satu sama lain. Akibatnya, rencana swasembada semakin kabur dan definisi swasembada menjadi tidak jelas. Misalnya, swasembada hanya ditargetkan untuk memenuhi gula konsumsi rumah tangga. Seolah-olah gula rafinasi untuk industri bukan gula konsumsi. Seharusnya swasembada bukan hanya untuk kepentingan konsumsi rumah tangga tetapi juga untuk kepentingan industri.
Bagaimana solusinya agar kita dapat mewujudkan swasembada gula?
Memperkuat peran DGI supaya mampu merumuskan dan mengelola kebijakan pergulaan nasional yang komprehensif dan konsisten satu sama lain. Gula dalam negeri masih perlu diproteksi sekaligus dipromosi. Kebijakan ini dibuat sampai kita mampu berswasembada secara kompetitif, bukan secara artifisial.
Benahi dan perkuat organisasi petani seperti pada pemerintahan yang lalu sehingga mampu mengawal pembentukan dan pelaksanaan kebijakan. Dan organisasi petani diperkuat secara manajerial agar mampu bekerjasama dengan pabrik gula dan pengusaha gula.
Kebijakan jangka pendeknya, pemerintah harus meneruskan kebijakan memberikan subsidi bongkar ratoon, pupuk, bunga kredit, dan perbaikan jaringan irigasi. Dan pabrik gula harus direhabilitasi dan dimodernisasi agar mampu meningkatkan kapasitas dan rendemen gula. Di samping itu, balai penelitian terus berupaya menghasilkan varietas tebu yang lebih baik. Bila solusi tersebut dilakukan saya punya harapan kita mampu mewujudkan swasembada gula.
Untung Jaya