“Sekarang ini adalah masa yang sudah lama ditunggu-tunggu petani jagung. Inilah masanya Indonesia untuk swasembada bahkan potensial untuk mengekspor jagung,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000—2004, saat diwawancarai AGRINA.
Mengapa bisa demikian?
Hal ini dipicu oleh permintaan dalam dan luar negeri yang besar. Ini mengakibatkan harga jagung nasional dan global meningkat secara signifikan dalam pengertian jauh di atas biaya produksi. Harga yang sedemikian tingginya sehingga memberikan marjin cukup menarik buat para petani jagung.
Masa sekarang ini dapat dikatakan masa keemasan jagung karena selain harganya sangat baik, juga pasar sangat besar, sumberdaya lahan tersedia, sarana tersedia, tenaga kerja sudah terlatih, dan teknologi budidaya sudah kita dikuasai. Masalahnya hanya pada organisasi dan sistem yang belum terbentuk. Perlu kita upayakan sistem yang bersinergi sehingga berlangsung secara efektif dan efisien.
Sebelum peristiwa ini, insentif untuk mengimpor sangat tinggi apalagi dalam jumlah besar dan secara teratur karena secara global jagung over suplai. Namun keadaan itu sudah berubah, secara global sudah terjadi permintaan berlebih (excess demand) yang membuat harganya tinggi dan berdampak juga pada harga jagung di dalam negeri.
Excess demand yang kita alami ini bukanlah bersifat musiman tapi zaman, artinya bisa berlangsung beberapa tahun. Oleh karena itu, kini masa untuk mengembangkan sistem agribisnis jagung nasional yang berkelanjutan dan memberikan keuntungan kepada semua pelakunya dalam sistem agribisnis jagung. Dan sudah masanya pula untuk membangun sistem agribisnis jagung yang komplet, efektif, dan efisien.
Jika kita ingin membangun sistem agribisnis jagung faktor apa yang paling penting dibenahi?
Selama ini kita mengandalkan pada impor, maka sistem yang paling lemah adalah sistem pengeringan dan penyimpanan lokal serta pembelian dan penjualan lokal. Dalam keadaan demikian itu petani selalu kecewa karena sewaktu harga tinggi mereka tidak mendapatkannya. Akibatnya, pada musim berikutnya dia berhenti menanam, maka suplai dalam negeri berkurang. Hal tersebut terjadi secara berulang-ulang. Selanjutnya para petani jagung cenderung mencari alternatif selain jagung sehingga membuat impor jagung makin lama makin besar.
Jadi, bila kita ingin membangun sistem agribisnis ini, bagian paling lemahlah yang pertama sekali ditanggulangi. Untuk itu perlu kerjasama yang baik dalam jangka panjang antara pembeli besar, seperti pabrik pakan ternak, dengan para enterpreneur dan pedagang lokal, serta organisasi petani. Jika hal ini tidak dibenahi, zaman keemasan jagung itu tidak pernah dinikmati oleh para pelaku dan kita tidak akan mungkin swasembada, apalagi untuk mengekspor.
Bagaimana agar sistem agribisnis itu bisa terbentuk?
Agar sistem agribisnis jagung ini bisa terbentuk, efektif, dan efisien, maka dibutuhkan semacam agribusiness coordinator. Agribusiness coordinator bisa datang dari berbagai pihak tergantung pada situasi lokal, bisa dari pabrik pakan ternak, pedagang regional dan lokal, organisasi petani, atau pemerintah daerah. Agribusiness coordinator berperan sebagai dirigen dalam sebuah orkestra sistem agribisnis mulai dari hulu sampai hilir sekaligus menjadi fasilitator agar timbul saling percaya antara para pelaku.
Dia juga harus mampu memfasilitasi agar setiap pelaku dalam sistem agribisnis itu tidak hanya memikirkan keuntungan jangka pendek baginya semata. Tapi selalu memikirkan keuntungan yang diterima oleh keseluruhan sistem agribisnis dalam jangka panjang. Jika ada ketidakpercayaan dari satu pihak, itu akan menghambat bergeraknya sistem itu.
Bagaimana pengembangan sistem agribisnis jagung?
Untuk mengembangkan sistem agribisnis jagung ini harus dipisahkan agribisnis jagung untuk kepentingan feed (pakan ternak) dan food (makanan manusia). Dan jagung untuk makanan manusia dipisahkan lagi antara jagung pipilan, jagung manis, dan jagung muda. Memang semua namanya jagung tapi sebenarnya jagung yang berbeda. Karena jagungnya berbeda, maka pengembangan agribisnis dan catatan statistiknya juga harus terpisah-pisah. Ini perlu disepakati dulu khususnya di pemerintahan.
Sedangkan pengembangan jagung untuk bahan bakar (fuel) masíh jauh. Untuk food dan feed saja kita sudah kewalahan memenuhinya. Pengembangan biofuel di Indonesia lebih cocok dari kelapa sawit dibandingkan jagung.
Satu hal yang menarik, pengembangan agribisnis jagung ini membutuhkan dukungan dari lembaga keuangan baik untuk petani, pedagang, maupun industri. Oleh karena itu Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang selama ini ditekankan pada beras dan gula juga sudah masanya dikembangkan untuk jagung.
Selain itu, peranan pemerintah daerah juga dibutuhkan. Jagung bisa ditanam hampir di seluruh wilayah Indonesia, tapi sentra jagung hanya di beberapa provinsi. Oleh karenanya peranan pemerintah daerah di sentra produksi sangat penting untuk memfasilitasi bertumbuhnya sistem agribisnis yang bersinergi. Peranan pemerintah daerah yang sangat penting adalah menyediakan infrastruktur lokal seperti jalan, irigasi, lembaga keuangan daerah, dan pasar.
Untung Jaya