Senin, 14 April 2008

Cabai Tadah Hujan Mengapa Tidak?

Memang kondisi bertani semakin sulit, tetapi khusus cabai kami tetap optimis.

Itu ucapan Salimun, petani cabai asal Desa Jengglong, Kec. Dau, Kab. Malang, Jatim, saat ditanya tentang prospek usaha tani cabai tahun ini. Maklum, sepanjang 2007 bisnis sayuran dianggap kurang cerah akibat melonjaknya harga sarana produksi pertanian, seperti benih, pupuk, dan pestisida. “Yang penting, petani menguasai teknik budidaya serta selalu melakukan inovasi baru,” terang Salimun.

Sekali Setahun

Perlu diketahui, areal pertanaman cabai di Kec. Dau, Malang, mencapai 100 hektar (ha)  merupakan salah satu sentra sayuran bercita rasa pedas di Jatim. Cabai umumnya ditanam di tegalan atau sawah tadah hujan sehingga petani hanya punya kesempatan tanam sekali setahun. Jadi, kesempatan menangguk untung dari bertanam cabai pun juga hanya sekali setahun. Berbeda dengan petani cabai di persawahan atau berpengairan teknis yang bisa bertanam bertahap sepanjang tahun.

Petani Jengglong mulai mengolah tanah pada Juni—Juli, dilanjutkan dengan memproduksi bibit pada September. Periode Oktober—November, cabai mulai ditanam dan panen baru bisa dilakukan Februari tahun berikutnya.  Meskipun begitu, hal ini tidak menyurutkan Salimun untuk terus menekuni usaha budidaya cabai di lahan yang mengandalkan hujan.

“Memang, tahun 2006 sampai 2007 kemarin sempat berat karena hujan datang terlambat,” papar petani berusia 49 tahun ini. Namun petani cabai di Kec. Dau tidak kehilangan akal. Hampir sebulan penuh mereka melakukan penyiraman secara manual bagi pertanaman cabai. Meskipun terasa berat dan biaya jadi melonjak, tetapi itu terbayarkan karena saat panen mereka menikmati harga tinggi.

Selain ulet, petani di wilayah ini juga terus mengasah kemampuan budidayanya. “Petugas lapangan dari perusahaan sarana produksi (pupuk, benih, pestisida) banyak membantu,” jelas Ketua Kelompok Tani Cabai “Tani Sejati” yang beranggotakan 40 orang tersebut. Setiap produk sarana produksi yang masuk kawasan ini wajib melakukan demplot bahkan demplot ini sudah digarap musim tanam tahun sebelumnya.

Varietas Khusus

Menurut Salimun, hal tersebut wajib dilakukan karena kondisi lahan yang spesifik, yakni tadah hujan. Suatu kali pernah ada demplot varietas cabai baru di lahan sawah dengan hasil yang bagus. Namun, “Saat demplot di tegalan kondisinya payah, mudah layu, dan rontok,” keluh Salimun yang memilih benih cabai varietas Funtastic dari Primaseed yang terbukti andal di kawasan ini.

 “Petani tinggal mengamati dan memilih produk mana yang anda, sehingga proses coba-coba dan belajar tidak menguras biaya,” papar petani yang sudah 33 tahun bertanam cabai. Proses demplot inilah yang dimanfaatkan para petani cabai untuk belajar budidaya yang baik. Misalnya pemilihan benih yang cocok, pestisida yang sesuai sasaran, maupun aplikasi pupuk yang tepat.  

Saat ini teknik budaya cabai petani Jengglong tidak kalah dengan petani di sentra cabai yang berlahan  pengairan seperti Wajak dan Turen, Malang. “Per pohon minimal satu kg sudah tercapai,” ungkap Salimun bangga.

Jurus lain dia dalam berbisnis cabai adalah mampu menembus pasar. Cabai produksi kelompoknya kini langsung dikirim ke Pasar Baru,  Porong, Sidoarjo. Pembayaran pun tunai. Dengan begitu, petani cabai terhindar dari anjlok harga yang seringkali terjadi.  

Memasarkan sendiri jelas dapat mendongkrak harga saat harga jatuh. Bagaimana prospek tahun ini? “Saya yakin, cabai masih menguntungkan,” tegas Salimun opitimis. Saat AGRINA berkunjung, dia sedang panen perdana cabai dengan harga sudah mencapai  Rp8.000 per kg jauh, dari titik impas yang hanya Rp.2.500  per kg.

Tri Pranowo (Kontributor Malang)

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain