Senin, 17 Maret 2008

SUARA AGRIBISNIS : Perlu Tekad Mengatasi Masalah Pangan

“Memang ada masalah besar dengan ketahanan pangan kita, khususnya pangan strategis, seperti beras, jagung, tebu, dan gula. Kedelai hanyalah pemicu yang membuat kita terkejut dan sadar,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000–2004, saat diwawancarai AGRINA.

Mengapa kita terkejut? Apakah kejadian tersebut terjadi secara tiba-tiba?

Kita sebagai bangsa, khususnya pemerintah, tidak proaktif mengantisipasi tren perubahan yang telah terjadi beberapa tahun terakhir. Yaitu bergesernya excess supply (kelebihan penawaran) menjadi excess demand (kelebihan permintaan) terhadap produksi pangan secara global. Dan sekarang dampak perubahan itu telah terjadi. Harga pangan membubung tinggi dan konsumen menjerit di mana-mana.

Jika konsumen beras, jagung, dan gula terorganisir dengan baik, dampaknya akan fatal dibandingkan demontrasi konsumen antara kedelai, yaitu para perajin tahu dan tempe. Ingat, kita punya 40 juta masyarakat miskin! Sebagian besar pendapatan mereka dibelanjakan untuk beras, gandum, jagung, gula, minyak goreng, dan kedelai. Saya tidak menakut-nakuti, tapi saya ingin menyadarkan bangsa ini bahwa kita punya problem serius dalam ketahanan pangan.

Masalah ketahanan pangan kita ini bukanlah masalah jangka pendek. Oleh karena itu, kita sebagai bangsa, khususnya pemerintah, harus punya strategi jangka panjang untuk mengatasi masalah pangan tersebut. Sementara strategi jangka pendeknya cukup melakukan upaya-upaya untuk memenuhi kebutuhan akan pangan dalam negeri sendiri. Dari upaya-upaya tersebut kita bertujuan mewujudkan ketahanan pangan yang kuat dengan sasaran antara swasembada beras yang berkelanjutan.

Swasembada beras sebagai sasaran antara menuju ketahanan pangan, apakah kita mampu untuk itu?

Tergantung bagaimana kita menanganinya. Jika ditangani secara tepat, sekalipun ada kelangkaan secara global dapat kita buat surplus. Jangankan kedelai yang kita impor hanya 1 juta ton lebih, impor beras yang 5 juta ton bisa kita buat tidak impor. Memang itu membutuhkan waktu, dari mengimpor 5 juta ton sampai tidak mengimpor beras kita butuh waktu 4 tahun.

Jadi pada 2004 kita telah mencatat prestasi swasembada beras. Jika kurang percaya dengan data produksi yang tersedia, kita dapat dibuktikan dari fenomena harga rata-rata beras nasional. Sekalipun impor beras kita larang pada 2004, harga beras di dalam negeri tidak naik. Itu berarti persediaan beras dalam negeri pada kondisi cukup.

Sebenarnya dimana kesalahan pembangunan pertanian kita?

Sekarang ini saya lihat pembangunan pertanian itu seolah-olah hanya oleh pemerintah, khususnya Departemen Pertanian, dan yang diperjuangkan adalah budget in yang bertambah besar. Budget for tidak dipedulikan. Dengan kata lain, anggaran di departemen yang diperjuangkan, sedangkan anggaran untuk pembangunan pertanian diabaikan. Padahal budget in itu hanya bisa melayani 30% dari pembangunan pertanian, tepatnya pembangunan sistem agribisnis, dan yang 70% lagi tidak tahu dikelola siapa. Di situlah salahnya.

Selain itu, belum kelihatan ada konsep yang komprehensif untuk mengatasi excess demand. Masih ditangani secara sporadis seperti kebakaran jenggot. Sebelumnya tidak pernah ada yang bicara tentang sejuta hektar kedelai, sekarang di mana-mana pejabat ngomong hal tersebut. Di mana kita bisa dapat lahan sejuta hektar untuk kedelai dalam waktu singkat? Sebaiknya kita berpikir secara tenang dan smart sehingga memperoleh solusi yang tepat mengatasinya.

Bagaimana solusi mengatasi tingginya permintaan akan pangan ini?

Pertama, harus ada tekad yang kuat secara nasional, mulai dari pemerintah, pengusaha, sampai petani. Tidak cukup tekad yang kuat dari pemerintah saja, sebab pembangunan sistem agribisnis bukan hanya tanggung jawab pemerintah tapi tugas dan tanggung jawab seluruh masyarakat. Yang membangun siatem agribisnis itu adalah petani dan pengusaha, sedangkan pemerintah hanya memfasilitasi dan memberikan kemudahan kepada petani dan pengusaha. Jadi, harus ada tekad yang kuat.

Selanjutnya, harus ada organisasi untuk mewujudkan tekad tersebut karena dengan Deptan saja tidak cukup, sehingga dibentuk Dewan Ketahanan Pangan (DKP). DKP diketuai oleh Presiden dan waktu itu Menteri Pertanian sebagai Ketua Harian karena kita dalam kondisi excess supply sehingga perlu banyak membantu petani. Tapi sekarang dalam kondisi excess demand yang perlu dibantu adalah konsumen sehingga Ketua Harian DKP saat ini lebih tepat dijabat oleh Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Kesehatan, atau Menteri Sosial.

Kedua, kebijakan proteksi dan promosi yang telah kita terapkan sejak 2000 masih relevan dilanjutkan meskipun untuk sementara kebijakan proteksi dikurangi sebagai usaha penyesuaian bagi konsumen agar mereka tidak terlalu menderita. Namun usaha peningkatan produksi dan produktivitas melalui kebijakan promosi harus lebih digalakkan. Produksi dan produktivitas dapat ditingkatkan dengan cara aplikasi teknologi paling mutakhir, perbaikan infrastruktur transportasi dan irigasi, memperlancar perdagangan, perbaikan SDM, pendidikan petani, penguatan kelembagaan sistem agribisnis, dan pengefektifan organisasi petani dan pelaku dunia usaha agribisnis.

Untung Jaya

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain