Senin, 17 Maret 2008

Jurus Kelola Kincir Sidiq Rachmanto

Kian menipisnya marjin keuntungan di usaha budidaya udang Vanname membuat petambak harus menekan biaya produksi.

Biaya produksi udang saat ini memang sudah relatif tinggi. Menurut Suprapto, tim teknis Shrimp Club Indonesia (SCI), biaya produksi udang Vanname kini mencapai  Rp28.000— Rp31.000  per kg, sedangkan harga jual udang rata-rata hanya Rp32.500 per kg. ”Dengan demikian, keuntungan petambak cuma sekitar Rp3.000 per kg,” jelas Prapto. Pakan dan solar merupakan komponen produksi cukup menguras kantong petambak, yang masing-masing mencapai Rp13.500 (46,5%) dan Rp12.000 (40%) per kg udang.

Hemat Solar dan Listrik

Pernyataan Prapto, diamini Sidiq Rahmanto, Manajer Produksi PT Bentala Windu yang menegaskan, ”Selain pakan, biaya terbesar dalam budidaya udang Vanname adalah energi (solar),” Menurutnya, kedua pos itulah yang selalu menjadi perhatian petambak agar tetap memperoleh keuntungan dengan menerapkan efisiensi. Jika pakan disiasati dengan memaksimalkan konversi pakan, solar lebih mengarah pengelolaan power di tambak, terutama kincir.

Kincir memang salah satu peralatan yang sangat dibutuhkan dalam membantu mengendalikan kandungan oksigen di tambak agar tetap stabil. Maklum saja, jumlah benur yang ditebar di tambak sistem intensif sangat padat, mencapai 100—200 ekor per m2 sehingga membutuhkan oksigen terlarut yang cukup tinggi, terutama saat malam hari.

Ambil contoh, di tambak PT Bentala Windu yang terletak di Desa  Banjarsari, Kec. Tongas, Kab. Probolinggo, Jatim. Kincir dipasang mulai awal hingga akhir pemeliharaan. ”Dari awal kami full kincir, baik siang maupun malam,” jelas Sidiq. Penggunaan kincir pada malam hari cenderung lebih banyak untuk mengantisipasi turunnya kandungan oksigen terlarut.  ”Kandungan oksigen terlarut di tambak  idealnya tidak boleh di bawah 3 ppm (part per million), minimal 3,5 ppm,” lanjut pria berusia 39 tahun tersebut.

Operasional kincir memang sangat bergantung pada kadar oksigen terlarut air tambak sehingga parameter air tersebut selalu dipantau. Untuk menekan biaya solar, tidak semua kincir dioperasikan, hanya di petakan yang kandungan oksigennya rendah dan pada malam hari.  Untuk petakan tambak seluas 2.700 m2, Sidiq menempatkan 8—10 kincir yang masing-masing berkekuatan 1 PK (tenaga kuda). 

Menurut Sidiq, petambak yang menggunakan solar harus berhitung dengan cermat dalam hal pemanfaatan generator (genset). ”Jangan sampai pakai genset tapi penggunaannya cuma 50% dari kemampuan powernya,” jelas dia. Idealnya, penggunaan genset berkisar 75%—80% dari kapasitas terpasang. Pemanfaatan genset yang tidak optimal menyebabkan biaya per unit kincir menjadi lebih mahal karena konsumsi solarnya relatif sama. ”Output yang kita pakai sedikit, jadi kalau dihitung-hitung rugi,” terang Sidiq.

Jurus lain dalam efisiensi bisa juga diterapkan pada petambak yang pengguna dua sumber energi, yakni listrik (PLN) dan solar. Caranya, ”Ketika memasuki jam-jam puncak (17.00—22.00), pakai genset. Selepas beban puncak, kita pakai PLN lagi,” papar petambak yang berpengalaman lama berbudidaya Vanname di Lombok, NTB, ini.

Namun, Sidiq mengingatkan, pemakaian kincir yang on-off harus dikerjakan dengan teliti karena dapat mempengaruhi kehidupan udang. Apalagi jika padat tebar tinggi dan udang berukuran besar. Dalam kondisi demikian, ia tetap menghidupkan kincir dengan tenaga listrik untuk mengurangi risiko kematian.

Enny Purbani T., Indah Retno Palupi (Surabaya)

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain