Tidak bisa disangkal, sektor pertanian adalah yang paling memenuhi ketiga credo pembangunan nasional yang pro-growth, pro-job, pro-poor. Di tengah krisis ekonomi yang berkelanjutan sejak 1997, toh tetap tercatat angka pertumbuhan, dan ini melulu dari kinerja pertanian, yang berbagai komoditasnya tetap mampu menembus pasar dunia.
Lapangan pertanian pula yang memberi peluang pada lebih 50% rakyat, baik yang berbakat entrepreneur maupun yang cuma tukang. Ekspor tradisional hasil perkebunan kita tidak pernah redup. Sayur-mayur dan buah-buahan kita juga main di mancanegara. Dan yang juga benderang prospeknya di pasar global maupun domestik adalah produk perikanan.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi, mengatakan, dengan asumsi konsumsi ikan perkapita menjadi 28 kg/kapita/tahun, secara kumulatif, sejak 2006, sektor perikanan sudah mampu menyediakan kesempatan kerja bagi 7,7 juta orang. Terbagi di sektor perikanan tangkap 3,8 juta orang, di sektor budidaya 3,9 juta orang. Pada 2009, tenaga kerja yang bakal diserap oleh perikanan budidaya akan mencapai hampir 6,5 juta orang. Ini berkat pemerintah yang sengaja memacu peningkatan perikanan budidaya dan menahan laju perikanan tangkap. Lapangan kerja ini akan meningkat lebih tajam manakala konsumsi ikan kita menyesuaikan standar FAO, yang 35 kg/kapita/tahun.
Perikanan hasil budidaya mencapai 45% dari total produksi perikanan dunia, yang 90% pasokannya dari negara-negara Asia-Pasifik. Kecenderungan ini karena wilayah-wilayah pengelolaan perikanan tangkap sudah over-fishing, dan menurut kesimpulan FAO, juga akibat kenaikan harga minyak dunia sehingga harga bahan bakar minyak tinggi. FAO dalam Food Outlook-nya (disiarkan November lalu), memprediksi pangsa dan peningkatan penjualan produk perikanan budidaya bakal beromzet US$100 miliar. Kontribusi Indonesia hanya sekitar US$2,58 miliar, hanya 2,58% dari total nilai perdagangan perikanan budidaya dunia itu.
Pemerintah mematok kenaikan produksi perikanan budidaya hingga 38% sampai 2009, demi memenuhi peningkatan produksi perikanan secara nasional sebesar 20%. Produksi perikanan budidaya diproyeksi 4,27 juta ton pada 2009, dari areal yang diperluas sampai 2,534 juta hektar (ha). Di sini udang adalah primadona.
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menargetkan produksi udang budidaya 540.000 ton pada 2009 (belum termasuk produksi Dipasena dan CP Bahari, Lampung, yang diperkirakan 300.000 ton), yang langkah terobosannya dimulai pada 2006. Sekitar 156.300 ha tambak udang akan direvitalisasi, terdiri dari 42.800 ha tambak udang windu dan 113.500 ha tambak Vanname. Selama periode 2006—2009, udang windu akan meningkat rata-rata 13,52% per tahun, terutama dihasilkan dari budidaya sistem organik. Sedangkan udang Vanname akan mengalami kenaikan sekitar 16,92%.
Namun tampaknya upaya pencapaian peningkatan produksi perikanan budidaya, termasuk udang, easy said than done, mudah dikatakan, tak mudah dilaksanakan. Perluasan dan penentuan lokasi, penyediaan benih, pakan dan teknologi, semuanya itu menuntut ketersediaan duit. Dan itu yang paling musykil, mengingat usaha perikanan budidaya ini sangat didominasi usaha kecil menengah, sementara upaya peningkatan produksi perikanan budidaya sebesar 38% itu memerlukan biaya sebesar Rp13,419 triliun (termasuk untuk revitalisasi tambak udang dengan target produksinya selama 2006-2009 yang memerlukan anggaran Rp3 triliun). Yang sanggup disediakan pemerintah cuma modal usaha sebesar Rp0,517 triliun dan investasi Rp3,064 triliun.
Dari mana digali kekurangan dana yang Rp10,355 triliun itu? Rupanya strategi menggalang dana yang perlu digariskan dulu, yang di dalamnya dijamin iklim kondusif untuk investasi. Sejauh ini pemodal besar asing dan dalam negeri belum bisa diyakinkan untuk investasi besar-besaran di budidaya ikan. Bahkan bank-bank pemerintah, seperti BRI, Mandiri, dan BNI masih enggan memberi kredit. Sementara pemerintah yang diharapkan memberikan jaminan kredit juga takut “ketiban pulung”. Padahal revitalisasi perikanan budidaya yang sistematik dan sistemik pro-growth, pro-job, pro-poor ini barulah mencakup 8 persen total potensi lahan perikanan budidaya di Indonesia.
Daud Sinjal