Selasa, 4 Maret 2008

Menggali Potensi Kapas Gunung Kidul

Sebagian orang masih menganggap remeh kawasan Gunung Kidul karena ketandusan tanahnya. Padahal wilayah ini potensial sebagai penghasil kapas.

Adalah Perusahaan Rokok (PR) Sukun, Kudus, yang menggali potensi daerah yang terletak di selatan kota Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu. Sejak 1996, perusahaan rokok ini mengembangkan budidaya kapas dengan model kemitraan di beberapa kecamatan, seperti Karangmojo, Semanu, Palihan, Ponjong, dan Nglipar.

“Dulu pas musim kemarau tidak ada yang bisa diharapkan. Dengan menanam kapas jadi punya pengharapan,” ujar Supanto, Ketua Kelompok Tani Bina Lestari, Dusun Grogol V, Desa Bejiharjo, Karangmojo, Gunung Kidul, kepada AGRINA. Bahkan ia yakin, dengan manajemen yang bagus, hasilnya bisa lebih tinggi dibandingkan palawija, seperti kacang tanah atau kedelai.

Mulai Memupuk

Pola pertanaman kapas di wilayah Gunung Kidul sebagian besar masih bersifat tumpangsari sehingga tidak perlu perlakuan khusus. Namun itulah daya tariknya bagi petani karena kapas dapat dijadikan sumber penghasilan tambahan selain palawija. Menurut hitungan Supanto, dengan luasan 1.000 m2 bertanam palawija menghasilkan Rp200.000—Rp250.000, sedangkan kapas dapat lebih dari Rp300.000 per musim tanam (5—6 bulan). 

Namun, hasil panen kapas di wilayah tersebut belum memenuhi harapan petani maupun PR Sukun. “Produksi kapas di sini rata-rata baru mencapai 2,14 ton/ha. Berbeda dengan di Kab. Pacitan, Jatim,  yang 5—8 ton/ ha karena dikelola secara profesional,“ ungkap Supanto.

Untuk meningkatkan produksi kapas, mulai musim tanam tahun ini PR Sukun menganjurkan petani memupuk kapasnya meskipun penanaman masih bersifat tumpangsari. “Sekarang kapas harus dipupuk. Petani mendapat subsidi pupuk sebesar 25% dari pemerintah dan PR Sukun,” lanjut Supanto yang kelompoknya menyediakan lahan seluas 35 ha untuk ditanami kapas dan 0,5 ha lahan demplot untuk ujicoba tatalaksana budidaya kapas yang baik.

Model kemitraan yang dibangun pihak Sukun bekerjasama dengan pemerintah pusat adalah memberi benih gratis kepada petani. Hasil panen selanjutnya dibeli PR Sukun dengan harga kontrak. Pada 2007, harga benih kapas varietas Kanesia 8 Rp36.000 per kg dengan harga beli panen Rp2.500 per kg (grade A) dan Rp2.000 per kg (grade B). Tahun ini, harga benih kapas menjadi Rp37.500 per kg dan harga beli panen naik masing-masing Rp500 per kg untuk grade A dan B.

Di Hutan GNRLH

Petani lain yang juga tertarik menanam kapas adalah Wiyono. Anggota Kelompok Sri Rejeki, Dusun Tuwuhan, Jati Ayu, Karangmojo, Gunung Kidul, ini mulai bertanam kapas sejak tahun 2000. “Kami juga mitra dengan PR Sukun, tapi sempat berhenti beberapa tahun, baru sekarang menanam lagi,“ ujarnya. Varietas kapas yang ditanam kelompoknya juga Kanesia 8. Sebanyak 20% pertanaman mereka terhampar di kawasan hutan yang masuk program Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan dan Hutan (GNRLH).

Menurut Maryono Tejowiharjo, Koordinator Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi DIY, “Penanaman kapas di kawasan hutan bertujuan meningkatkan pendapatan petani dan agar masyarakat tidak mengganggu tanaman pokok hutan, seperti jati dan kayu putih.” Kawasan hutan yang menjadi areal pertanaman kapas binaan PR Sukun meliputi wilayah  Mangunan, Panggang, Paliyan, Karangmojo, Semanu, Palihan, Ponjong, dan Nglipar. Ke depan, areal tanam kapas di Gunung Kidul diharapkan mencapai 1.000 ha, 750 ha di lahan petani dan sisanya di kawasan hutan.

Bertanam kapas di wilayah hutan relatif sepi kendala, “Intinya, selama tajuk pohon jati tidak menghalangi perolehan sinar matahari tanaman kapas, selama itu pula kapas bisa tumbuh dengan baik,” ujar Maryono. Kalau  tertutup tajuk, kapas tidak mampu tumbuh baik sehingga hanya cocok ditanami golongan rempah-rempah atau beternak lebah madu.

Enny Purbani T., Ryan Masanto (Kontributor Magelang)

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain