Saat banyak peternak puyuh ketar-ketir akibat serangan penyakit Avian Influenza (AI), justru Turmudzi di Yogyakarta bisa tersenyum bahagia.
“Sejak dulu saya tidak pernah pakai obat-obatan dari pabrik. Cukup hanya dengan jamu racikan sendiri. Buktinya, saat sedang gawat-gawatnya wabah AI, puyuh saya tidak apa-apa,” ucap Turmudzi, peternak puyuh sekaligus inti kemitraan Dian Kurnia ini bangga. Ketika ia menerapkan cara ini, banyak yang menyangsikan keampuhannya. Namun ternyata ia tetap mampu bertahan hingga sekarang.
Resep Warisan
Kemahiran Turmudzi meracik jamu diperoleh dari seringnya melihat sang bapak membuat racikan jamu untuk menyemprot tanaman tembakau. “Untuk membunuh kutu yang nempel di daun tembakau, bapak seringkali menyemprotkan rendaman daun tembakau. Hasilnya ampuh sekali, kutu-kutu itu mati,” kenangnya.
Rasa penasaran akan keampuhan racikan bapaknya membuat Turmudzi ingin mencobanya. Mula-mula ia mencoba untuk menyemprot telur-telur puyuh yang sedang ditetaskan agar terbebas dari serangan kutu atau hama. Ternyata hasilnya sangat menggembirakan. Sejak itulah ia pun rajin membuat formula jamu sekaligus menguji keampuhannya.
Seiring berjalannya waktu, jutaan puyuh berhasil diselamatkan dari kematian. Namun begitu, lulusan SMA Argomulyo, Bantul, ini ia tidak ingin mengomersialkan hasil karyanya. “Lebih mantap ilmu ini saya tularkan kepada plasma. Kalau berhasil, saya juga ikut menikmatinya,“ ucapnya.
Untuk melawan AI, Turmudzi menganjurkan penggunaan racikan terdiri dari mahkota dewa, jahe, dan tetes tebu. Sedangkan menjaga kesehatan bibit (day old quail/DOQ), ia memanfaatkan gula jawa, tetes tebu, jahe, kunyit, dan EM4.
Bermodalkan Mesin Tetas
Dalam perjalanan usahanya, Turmudzi sempat beternak ayam petelur tetapi lantaran krisis pakan pada 1993 ia beralih ke burung puyuh setelah melihat penetasan milik seorang teman. Dua tahun kemudian ia memberanikan diri membuat mesin tetas sendiri dengan biaya Rp80 ribu. Gayung pun bersambut, banyak peternak order DOQ.
Dengan makin bertambahnya konsumen, pria asli Sleman ini menambah modal. Ia mengaku mendapat pinjaman dari PLN Rp15 juta. Sejak itulah ia berani memproklamirkan diri sebagai inti dari kemitraan puyuh dengan bendera Dian Kurnia. Lokasi plasmanya mayoritas berada di Sleman.
Untuk memenuhi permintaan plasmanya yang kian meningkat, Turmudzi menambah mesin semi otomatisnya menjadi 16 buah dengan kapasitas 1.000 butir/mesin. Jadi, ia mampu menjual 2.000 ekor DOQ/empat hari. Terhitung Februari 2008 ini, 55 orang menjadi plasmanya dengan populasi 900—1500 ekor/plasma. Pemasaran telur puyuh konsumsi 60% di lokal DIY, sisanya ke Bandung dan Kendal.
Ryan (Kontributor Yogyakarta)
Analisis Usaha Puyuh Populasi 900 ekor/minggu
Asumsi:
Harga bibit umur sehari (DOQ) : Rp1.300/ekor
Kebutuhan pakan : 187,5 kg/minggu
Harga pakan : Rp3.600/kg
Afkir : 18 bulan
Biaya pembuatan kandang & peralatan : Rp350.000/unit
Populasi 1 unit kandang : 250 ekor
Daya tahan kandang & alat : 5 tahun
Biaya tenaga kerja : Rp600.000/bulan (10.000 ekor)
Sewa lahan & naungan/rumah : Rp1.000.000/th (7 m x 5 m) (10.000 ekor)
Produksi telur 75% : 6.750 butir
Harga telur : Rp130/butir
Pengeluaran
Penyusutan Bibit (DOQ) : Rp 15.200
Penyusutan kandang & alat : Rp 4.840
Pakan : Rp 675.000
Tenaga kerja : Rp 13.500
Sewa lahan&rumah : Rp 1.730
Jamu, vitamin, EM4 : Rp 7.385
Jumlah : Rp 717.655
Pemasukan
Hasil Telur : Rp 877.500
Laba : Rp 159.845
Sumber: Turmudzi 2008, (diolah)