Selasa, 4 Maret 2008

Beronang Tambak Solusi Saat Paceklik

 

Beronang mudah dipelihara karena dapat hidup di kisaran kadar garam yang luas dan hidup  berkelompok dalam jumlah yang besar sehingga dapat dipelihara dengan kepadatan tinggi.

Beronang atau baronang (Siganus sp.), salah satu ikan laut yang paling diminati penggemar seafood karena rasa dagingnya yang gurih, berwarna putih, dan tidak banyak mengandung duri. Rumah-rumah makan terkenal di Makassar umumnya menghidangkan beronang sebagai salah menu andalan, selain kerapu dan kakap. Harga beronang bakar atau goreng ukuran 200—300 gr berkisar Rp10.000—Rp13.000 per ekor, sedangkan yang berukuran 400—500 gr mencapai Rp16.000 per ekor.

Namun, karena minimnya pasokan, terutama pada musim paceklik (November—Januari), sejumlah rumah makan seringkali menghidangkan ikan mirip beronang, seperti butana dan ikan hitam untuk memenuhi permintaan pelanggan. Kedua ikan tersebut disajikan untuk menutupi kurangnya pasokan yang selama ini didatangkan melalui nelayan pengumpul. Budidaya beronang secara intensif maupun semi intensif di tambak menjadi salah satu solusi penyediaan beronang di pasaran.  

Tradisional dan Polikultur

Di perairan Indonesia terdapat sekitar 12 spesies ikan beronang. Namun spesies yang umum dikonsumsi adalah beronang lingkis (Siganus canaliculatus), beronang tulis (S. vermiculatus), beronang lada (S. javus), dan beronang tembaga (S. coralinus, S. doliatus).  Beronang tulis merupakan spesies yang mencapai ukuran besar, sekitar 800 gr per ekor. Jauh lebih besar dibandingkan beronang lainnya yang berkisar 150—600 gr  per ekor.

Ikan yang dikenal sebagai ikan kelinci (rabbit fish) ini jadi hasil sampingan dalam budidaya udang dan bandeng tradisional. Berbagai benih ikan masuk ke dalam tambak, termasuk beronang, sehingga ikut terpelihara bersama udang dan bandeng. Ia menjadi hasil sampingan saat panen udang dan bandeng. 

Di habitat aslinya, ikan ini menghuni perairan dangkal, memakan lumut, rumput laut, lamun, kelekap, dan plankton. Itulah sebabnya pengelolaan pakan beronang yang dipelihara di tambak  cukup dengan menjaga kesuburan perairannya. Tak pelak lagi pertumbuhan beronang yang dipelihara di tambak sangat ditentukan kemampuan petambak mengendalikan kesuburan tambak melalui pemupukan.

Sampai saat ini beronang masih belum diusahakan secara intensif karena pembudidaya komoditas perikanan laut belum memilih beronang sebagai salah satu komoditas utama. Budidaya beronang masih dilakukan secara tradisional atau dicampur dengan jenis ikan lain, misalnya polikultur beronang dengan ikan nila (Oreochromis niloticus). Selain itu, beronang juga dapat dipelihara bersama kepiting bakau (Scylla serrata) dan udang windu (Penaeus monodon).

Intensif dan Semi Intensif

Teknis pemeliharaan beronang di tambak tidak berbeda dengan pemeliharaan ikan bandeng dan udang. Persiapan tambak dimulai dengan pengeringan, pembajakan, pengapuran, dan pemupukan. Jumlah kapur yang digunakan disesuaikan dengan pH dan tekstur tanah.  Untuk  tambak bertanah lempung liat (pH 5,6—6) dibutuhkan 3 ton kapur pertanian per ha.

Pupuk yang digunakan untuk menumbuhkan pakan alami beronang adalah pupuk organik atau campuran pupuk organik dan anorganik,  misalnya pupuk kandang 1 ton/ha, TSP 75 kg/ha,  dan urea 150 kg/ha. Pupuk ditaburkan ke seluruh permukaan tambak pada saat dasar tambak dalam kondisi macak-macak. Dasar tambak dibiarkan basah selama satu hari dan pada hari berikutnya permukaan air dinaikkan hingga setinggi  40—50 cm.  Tambak dibiarkan selama 10 hari untuk memberi kesempatan pakan alami tumbuh dan berkembang. Bila pakan alami telah tumbuh, benih beronang segera ditebar. 

Benih hasil tangkapan alam atau hasil pembenihan berukuran 5—10 cm ditebar dengan kepadatan 2—3 ekor/m2 atau 20.000—30.000 ekor/ha. Dengan sistem semi intensif,  ikan diberi pakan tambahan berupa pellet sebanyak 3—5% bobot populasi atau berupa lumut, lamun, dan rumput laut. Jika tambak dikelola secara intensif dengan padat penebaran  4—5 ekor/m2 atau 40.000—50.000 ekor/ ha, jumlah pakan yang diberikan sebanyak 3—5% bobot populasi. 

Beronang dipelihara selama 5—6 bulan untuk mencapai ukuran konsumsi, 200 gr per ekor. Penggantian air dalam budidaya sistem semi intesif berkisar 10—15% yang dilakukan 3—5 hari sekali dengan memanfaatkan air pasang. Sedangkan untuk budidaya intensif dengan jumlah ikan yang cukup padat, diperlukan pompa air dalam penggantian air dan aerator guna menjaga kadar oksigen terlarut, terutama pada malam hari. Dengan asumsi kelangsungan hidup 80%,  hasil panen budidaya beronang secara semi intensif mencapai 4,8 ton/ha. Jika harga ikan ukuran 200 gram  atau lima ekor per kg rata-rata Rp20.000, maka pendapatan kotor pembudidaya mencapai Rp96 juta.

M. Ghufran H. Kordi K (Kontributor Makassar).

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain